Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 26 Desember 2014

Perlu Lembaga Khusus untuk Selesaikan Konflik Agraria

JAKARTA - Konflik agraria di Indonesia meningkat signifikan pada 2014 dibandingkan dengan  tahun-tahun sebelumnya. Pada 2014 terjadi 472 konflik di seluruh Indonesia. Iwan Kurnia, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan peningkatan jumlah ini karena tidak ada lembaga yang secara khusus menangani masalah konflik agraria. 

Selain itu,  pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (pemerintahan saat itu) juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah konflik agraria pada tahun 2014. Pemerintahan Yudhoyono terbukti tidak memiliki kesanggupan dan kapasitas untuk memaksa para menterinya menghentikan ego sektoral di bidang agraria.

Menurut Iwan, sebaiknya pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla segera membentuk badan ad hoc yang menangani konflik agraria. “Lembaga-lembaga yang sudah ada seperti Badan Pertanahan nasional, Kementerian Kehutanan, hingga Komnas HAM terbukti tidak efektif dan tidak mampu menyelesaikan konflik secara tuntas,” ujarnya, Selasa.


Eva Bande, Aktivis Agraria, menilai Presiden Joko Widodo perlu membentuk satuan tugas (Satgas) penyelesaian konflik agraria. Hal ini seiring makin maraknya kasus konflik agraria yang berujung pada kriminalisasi rakyat serta aktivis.

Menurut Eva, lembaga-lembaga yang seharusnya menyelesaikan konflik malah menjadi pelaku yang merugikan rakyat. “BPN (Badan Pertanahan Nasional) kerapkali mengeluarkan izin penggunaan lahan. Tidak jarang, lahan yang diizinkan kepada swasta itu merupakan lahan adat atau milik petani setempat,” ujarnya.

Berdasarkan data KPA jumlah konflik agraria terbanyak terjadi di sektor infrastruktur dengan jumlah 215 konflik atau 45,55%. Selanjutnya perkebunan dengan 185 konflik atau 39,19%, disusul kehutanan dengan 27 konflik atau 5,72%, pertanian 20 konflik atau 4,24%, pertambangan 14 konflik atau 2,97%, dan perairan, dan kelautan empat konflik atau 0,85%.

Sementara itu, Riau tercatat sebagai provinsi dengan konflik agraria terbanyak dengan 52 konflik. Setelah Riau, diikuti Jawa Timur (44 konflik), Jawa barat (39), Sumatera Utara (33), Sumatera Selatan (33), Jawa Tengah (26 ), DKI Jakarta (25), Banten (20), Sulawesi Selatan (19), dan Jambi (17).

Menurut Iwan, tingginya konflik di sektor infrastruktur karena ada kebijakan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Proyek MP3EI memperlihatkan bagaimana dominasi peran pemerintah sangat kental dalam mendorong terjadinya konflik agraria di sektor infrastruktur,” ujarnya.

Iwan berpendapat konflik agraria di sektor infrastruktur sebenarnya bisa diminimalisir jika pemerintah lebih memilih proyek yang pro rakyat seperti pembangunan waduk dan irigasi.

Konflik yang selama ini terjadi karena adanya pembebasan lahan untuk kepentingan bisnis seperti proyek jalan tol. Agar konflik itu tidak terjadi pemerintah seharusnya melakukan realokasi dan ganti rugi dengan menyertakan masyarakat dalam proyek pemerintah.

Menurut Iwan, benturan konflik agraria yang terjadi mayoritas antara rakyat dengan perusahaan swasta, yakni 221 kasus. Peringkat selanjutnya diikuti  konflik antara warga dengan pemerintah, yakni 115 kasus dan konflik antara warga dan perusahaan negara, yakni sebanyak 46 kasus.

Sementara untuk jumlah korban akibat konflik agraria yang tewas mencapai 19 orang, tertembak 17 orang, luka-luka akibat dianiaya 110 orang dan ditahan 256 orang.
Pelaku kekerasan konflik agraria paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian dengan jumlah 34, kemudian warga 19, perusahaan 12, preman enam orang, dan TNI lima orang.

0 komentar:

Posting Komentar