Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 03 Desember 2015

Revisi UU Parpol dan Pilkada Bukan Solusi Konflik Parpol

JAKARTA - sejumlah pengamat menilai revisi Undang-undang (UU) Partai politik (parpol) dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terlalu tergesa-gesa dan bukan menjadi solusi bagi penyelesaian konflik dualisme kepemimpinan parpol.

Maswadi Rauf, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan revisi UU Parpol dan Pilkada tidak bisa dilakukan hanya atas dasar untuk mengakomodasi kepentingan kelompok. Revisi UU bisa dilakukan jika menyangkut kepentingan rakyat.

Maswadi mengatakan seharusnya kelompok yang menginginkan revisi UU lebih berpikir jernih dengan tidak membawa persoalan konflik partai pada sebuah revisi UU. “Kalau revisi ini dilakukan, itu salah besar,” kata dia.

Maswadi menuturkan partai politik yang berkonflik lebih baik menyelesaikan persoalannya sendiri. Jika di bawa ke ranah hukum akan memakan waktu yang sangat lama dan panjang sehingga bisa merusak jadwal pelaksanaan pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2015.

Menurut Maswadi, partai yang berkonflik seharusnya segera mengadakan munas atau munas luar biasa untuk segera menyelesaikan persoalan. Dari hasil munas tersebut kedua belah pihak yang berkonflik harus menerima hasilnya.

Veri Junaidi, Ketua Konstitusi dan Demokrasi, mengatakan belum ada urgensinya untuk me revisi UU Pilkada dan Parpol. Revisi UU tersebut hanya akan mengakomodasi kepentingan parpol yang berkepentingan. “Tidak ada urgensinya,” kata dia.

Menurut Veri, pemerintah harus sangat kuat untuk menolak rencana revisi UU Parpol dan Pilkada. Pasalnya, tidak ada dampak yang positif dari revisi UU tersebut.

Veri mengatakan untuk menyelesaikan persoalan dualisme parpol lebih baik diselesaikan di internal. Karena jika diselesaikan lewat jalur hukum akan menghambat pelaksanaan pilkada serentak yang sudah disepakati oleh anggota DPR.

“Kalau direvisi, kemungkinan besar pelaksanaan Pilkada serentak akan molor, dan itu berarti DPR tidak konsisten,” ujar dia.

Menurut Veri, dengan parpol melakukan islah persyaratan Komisi Pemilihan Umum bisa terpenuhi, sehingga mereka yang berkonflik bisa mengikuti pilkada. Kalau parpol tetap bersikukuh lewat jalur hukum waktunya tidak akan mencukupi. Pasalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak memiliki batasan waktu dalam memberikan keputusan.

Selain itu, jika menunggu revisi UU Parpol dan Pilkada, sangat mungkin hasil revisi tersebut baru akan keluar menjelang proses pendaftaran calon.

Kalau itu terjadi, akan sangat menyulitkan penyelenggara karena peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang sudah selesai juga harus direvisi dan dikonsultasikan lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

”Lalu kalau begitu bagaimana dengan KPU daerah yang butuh aturan teknis tahapan pencalonan. Ini pasti akan merepotkan,” ujar dia.

Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, mengatakan pPemerintah tidak berencana mengusulkan revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok tertentu.

"Pemerintah saat ini tidak punya rencana untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada itu. Munculnya wacana revisi lagi terhadap UU itu dikhawatirkan dapat menimbulkan kegaduhan politik baru dan mengganggu konsentrasi KPU," kata Tjahjo, seperti dikutip Antara, di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan pemerintah, DPR dan Komisi Pemilihan Umum telah sepakat untuk menjaga pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2015 dapat berjalan lancar sesuai dengan Undang-undang dan peraturan.

Sementara itu terkait adanya partai politik yang sedang berproses hukum terkait sengketa kepengurusan,  menurut Tjahjo, masalah tersebut sebaiknya diselesaikan di internal partai. (Pernah dimuat di Harian Indonesia Finance Today Jum'at 08 Mei 2015, 04:47:00)

Reshuffle Kabinet Perlu Ukuran Target Kinerja

JAKARTA - Sejumlah pengamat menilai reshuffle kabinet masih terlalu dini untuk dilakukan pada usia kabinet yang belum genap satu tahun. Dengan kondisi yang baru saja melakukan konsolidasi politik, belum layak untuk dilakukan penilaian terhadap kinerja para menteri.

Yunarto Wijaya, Pengamat Politik dari Charta Politika, mengatakan reshuffle kabinet harus didasarkan pada pertimbangan yang kuat. Jangan sampai reshuffle ini dilakukan atas dasar tekanan politik dan membangun kompromi politik.

Menurut dia, jika pertimbangan reshuffle hanya berdasar hal tersebut justru akan menimbulkan kekacauan. Pasalnya, tidak ada ukuran yang jelas terkait dengan pencapaian kinerja. “Seharusnya reshuffle harus berdasar pada target kinerja dari beberapa kementerian,” kata dia.

Menurut Yunarto, dari dulu sampai sekarang belum ada target kinerja yang jelas terkait penilaian kinerja kementerian. Bahkan pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) saja tidak ada transparansi dalam menentukan indikator kinerja kementerian.

Yunarto mengatakan dengan adanya transparansi dalam hal indikator kinerja kementerian, setiap isu reshuffle tidak akan diramaikan oleh pengamat dan kader partai politik. “Tidak akan ada lagi guncangan jika ada indikator yang jelas dan transparan,” ujar dia.

Yose Rizal, Direktur Eksekutif PoliticaWave, mengatakan meski ada beberapa kekurangan dari beberapa kinerja menteri namun untuk reshuffle kabinet harus sepenuhnya diberikan pada Presiden Jokowi.

Menurut dia, yang terpenting pemerintahan kali ini mampu memberikan pengertian terhadap rakyat terkait program-program yang dijalankan. Misalnya, terkait perlambatan ekonomi, pemerintah perlu menjelaskan mengenai kondisi global yang memang tidak baik.

Selain itu, penyerapan anggaran yang juga rendah, perlu ada penjelasan yang komprehensif agar rakyat tidak salah paham.

Menurut Yose, permasalahan yang dihadapi pemerintahan Jokowi saat ini adalah turbulensi politik yang cukup tinggi sehingga program dia yang bagus sering tertutupi oleh peristiwa politik.

Misalnya, setelah Presiden meresmikan pembangunan tol Sumatera tiba-tiba malamnya ada penangkapan Novel Baswedan sehingga prestasi yang diraih Jokowi tertutupi oleh peristiwa tersebut.

Yose mengatakan dalam hal reshuffle, tidak bisa hanya didasarkan pada latar belakang menteri. Menteri dari kalangan partai politik belum tentu dia tidak memiliki kapabilitas dan profesionalitas.

Menurut Yose, menteri yang berasal dari Parpol selagi dia memiliki kompetensi dan profesionalitas tetap layak untuk dijadikan menteri.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan perombakan Kabinet Kerja yang rencananya dilakukan pada 2015 akan bermanfaat untuk meningkatkan kinerja pemerintah.

"Ya pentingnya untuk meningkatkan kinerja pemerintah, dis itu pentingnya (perombakan kabinet-red.)," kata Kalla, usai membuka forum diskusi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan sosialisasi UU HKI No. 28/2014, di Jakarta, Rabu, seperti dikutip Antara.

Menurut Wapres, pejabat negara yang diangkat oleh presiden bisa terkena perombakan. "Siapapun yang diangkat oleh presiden, itu dapat diganti oleh presiden. Itu saja rumusnya," ujar dia.

Enny Sri Hartati, Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Institute Development of Economics and Finance, mengatakan pergantian menteri dalam bidang ekonomi memang perlu dilakukan terkait kinerja ekonomi yang melambat pada kuartal I.

Menurut Enny, dengan kinerja ekonomi yang menurun drastis tidak bisa hanya menyalahkan persoalan eksternal, namun perlu ada evaluasi terhadap kinerja tim ekonomi.

Enny yakin bahwa Presiden Jokowi pasti sudah melihat mana menteri-menteri ekonomi yang memiliki rapor merah dalam kinerjanya. Dia pun meyakini Presiden akan melakukan evaluasi atas tim ekonominya