Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 29 Oktober 2012

Diskriminasi Baru Pendidikan Keagamaan

Perbedaan pengelolaan pendidikan umum dan agama ternyata masih menyisakan sederet masalah di negeri ini. Madrasah dan pesantren yang ditangani oleh departemen agama meskipun saat ini telah memiliki produk hukum tersendiri, namun kondisinya tidak jauh berbeda seperti sebelumnya, madrasah dan pesantren terlihat masih sulit untuk mengejar ketertinggalannya dengan sekolah yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).



Jika menilik pada sejarah, perbedaan pengelolaan ini telah dimulai sejak masa kolonial belanda. Pada waktu itu belanda yang telah menguasi nusantara mulai mendirikan sekolah sekuler yang hanya mengajarkan ilmu umum sedangkan pendidikan agama yang masih berbentuk pesantren hanya mengajarkan ilmu agama.

Menurut Karel A Steenbirk karena perbedaan pengajaran inilah yang kemudian menyebabkan pendidikan agama mendapat diskriminasi. Contoh yang paling jelas dari diskriminasi pada masa kolonial ini adalah Pada tahun 1888, saat pemerintah kolonial menolak memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan agama dan menolak menggabungkan pendidikan agama dengan umum.

Selain karena bentuk pengelolaan yang berbeda, pendidikan keagamaan menjadi simbol perlawanaan bagi para penjajah. Para ulama dan kiai yang mengasuh pondok pesantren menjadi benalu bagi proses penjajahan. Para pengasuh pondok pesantren bahu membahu melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan untuk mengusir penjajah. Para kiai dan ulama tidak segan-segan turun dalam medan pertempuran untuk ikut berjuang melawan penjajah. Karena bentuk perlawanan itulah yang menyebabkan hubungan antara ulama dan penjajah menjadi semakin buruk. Sehingga puncaknya pendidikan keagamaan selalu mendapat diskriminasi dari pemerintah kolonial.

Setelah Indonesia merdeka, perbedaan pengelolaan tetap berlangsung. Menurut Darmaningtyas hal ini disebabkan oleh pendidikan umum yang dikesankan sekuler sehingga Departemen Agama (Depag) perlu mengelola pendidikan sendiri. Lahirnya Undang-undang sistem pendidikan yang pertama yaitu undang-undang nomor 4 tahun 1950 tidak menjamin bahwa posisi antara sekolah umum dan agama sejajar malah sebaliknya pendidikan keagamaan tidak diakui ijasahnya. Sehingga pada saat-saat seperti itu madrasah merasa dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak mendapatkan pengakuan.

Menurut guru besar pendidikan Islam Prof. Husni Rahim, lahirnya UU tersebut menimbulkan persoalan politik tersendiri karena tidak mencantumkan pendidikan keagamaan. Persolaan pendidikan kegamaan akan diatur tersendiri. “tetapi sayangnya perkataan akan diatur tersendiri tidak pernah terwujud sampai lahirnya UU no 4 tahun 1984.” Karena namanya tidak tercantum dalam undang-undang maka pendidikan keagamaan tidak mendapatkan payung hukum. Oleh karena itu, pendidikan keagamaan tidak mendapatkan dana dan ijasahnya tidak diakui pemerintah. Hal inilah yang menimbulkan munculnya SKB 3 menteri (menteri pendidikan, menteri agama, dan menteri dalam negeri) mengenai peningkatan mutu madrasah.

Munculnya SKB 3 menteri memberi angin perubahan bagi pendidikan keagamaan. Ijasah dan pengakuan dari pemerinatah yang sebelumnya tidak mereka dapatkan, setelah keluarnya SKB tersebut membuat para lulusan madrasah dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan bagi yang ingin bekerja ijasah tersebut dapat digunakan untuk melamar pekerjaan.

Akan tetapi, pengakuan ijasah oleh pemerintah tidak diperoleh dengan biaya yang murah. Madrasah harus merombak kurikulum yang sebelumnya 30 % mata pelajaran agama dan 70 % pelajaran umum menjadi 70 % umum dan 30 % agama.

Perubahan kurikulum ini merupakan salah satu faktor yang membuat posisi madrasah semakin jauh tertinggal dibanding sekolah umum. Husni mengatakan bahwa Ketertinggalan itu disebabkan karena materi yang diajarkan madrasah tidak sama dengan di sekolah umum. “karena porsi yang diajarkan berbeda menjadikan madrasah menjadi kelas nomor dua setelah sekolah umum.”

 Meski saat itu pendidikan keagamaan telah mendapatkan pengakuan tapi diskriminasi masih terasa terutama dalam hal pengelolaan dan pembiayaan. Pendidikan keagamaan terutama madrasah sulit mendapatkan dana dari pemerintah. Bahkan jika dibandingkan dengan sekolah umum posisi madrasah seperti anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tua. Madrasah selalu dinomor duakan dalam pengalokasian dana.

Sedangkan dalam hal pengelolaan, madrasah pun mendapat nasib yang serupa. Banyak madrasah pada masa orde baru yang manajemennya masih amburadul. Keamburadulan itu dapat dilihat dari sarana gedung yang tidak layak dan pengajar yang tidak sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya.

Persoalan disikriminasi dalam hal pengelolaan dan pembiayaan terus berlangsung sampai lahirnya UU sisdiknas tahun 2003. Lahirnya UU itu menghapus diskriminasi yang selama ini menimpa pendidikan keagamaan terutama dalam hal pembagian anggaran yang sebelumnya pendidikan keagamaan selalu mendapat jatah yang lebih sedikit dibanding pendidikan umum.

Diskriminasi baru

Meski saat ini pendididkan keagamaan telah mendapat anggaran yang sama dengan sekolah umum tapi dalam pengelolaannya pendidikan keagamaan masih bersifat sentralistik. Padahal sejak diberlakukannya  UU otonomi daerah persolaan pendidikan merupakan bagian yang harus diotonimikan. Hal ini yang  menurut Husni Rahim sebagai diskriminasi baru bagi pendidikan keagamaan. Menurutnya pendididkan keagamaan merupakan bagian dari sistem pendididkan nasional sehingga pengeloaannya pun harus diotonomikan seperti pendididkan umum. 

Karena pengeloalannya yang masih sentralistik membuat pendididkan keagamaan mendapat diskriminasi dari pemerintah daerah. “Seperti misalnya sekolah-sekolah umum yang ada di Jakarta mendapat bantuan dana sekitar 2 juta – 2,5 juta dan agar tidak terlalu terlihat diskriminasinya maka madrasah diberi bantuan 500 ribu saja. dan di daerah lain misal di sekolah SMP A mendapat bantuan mobil dari pemerintah daerah sedangkan madrasah hanya mendapat motor .”

Penyebab dari diskriminasi ini adalah pendidikan keagamaan tidak mempunyai payung hukum yang jelas untuk menerima bantuan dari pemerintah daerah. karena memang sistemnya yang masih sentralistik di bawah Depag sehingga kepala daerah beralasan takut menyalahi aturan yang ada.

Terkait penyelesaian masalah diskriminasi ini Husni mengatakan bahwa setidaknya ada tiga alternatif yang harus dilakukan. Pertama pendidikan keagamaan tetap berada di kementrian agama tetapi Depag harus bekerja keras untuk meningkatkan mutunya. Kedua departemen agama harus memegang kurikulum sendiri sedangkan pengelolaan di daerah diserahkan kepada diknas “karena jika diserahkan   ke pusat maka pendidikan agama akan rusak karena yang mengelolanya adalah orang yang tidak tahu madrasah, jadi pegang isinya fisiknya serahkan ke daerah.”  Alternatif ketiga apa yang disebut dengan istilah “bedol desa” yaitu bagian yang mengurusi pendidikan di Depag pindah semuanya ke kemendikbud. “nah kalau bedol desa otomotis otonomi akan menyatu padahal kalau tetap di depag diskriminasi akan tetap ada .“

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Imam Suprayogo Rektor UIN Malang bahwa sepanjang  pengelolaan pendidikan masih ditangani oleh kementerian yang berbeda-beda, maka perasaan  diskriminasi  selamanya tidak akan bisa dihilangkan. Sebab tidak akan mungkin dua kementerian memiliki  kebijakan yang  persis sama. Oleh karena itu  maka cara yang paling memungkinkan  untuk   menghindari  terjadinya diskriminasi itu adalah menyerahkan pengelolaan  pendidikan kepada satu kementerian. 

Sementara itu menurut Darmaningtyas terdapatnya diskriminasi itu merupakan konsekunsi logis karena perbedaan pola dalam hal pengelolaan pendidikan. Pendidikan keagamaan dikelola oleh Depag sedangkan pendididkan umum dikelola oleh Kemendikbud. Maka agar tidak menimbulkan masalah diskriminasi lagi maka pengelolaan pendidikan keagamaan diserahkan pada Kemendikbud. ” Di mana saja dualisme akan selalu menciptakan persoalan, supaya tidak ada persoalan maka dualisme itu harus dihilangkan.”
Karena menurut Darmaningtyas, secara epistemologis sudah tidak relevan lagi Depag harus mengelola sendiri pendididkan keagamaan. karena persoalan pendididkan umum yang dikesankan sekuler,  saat ini dalam praksisnya pendidikan nasional sudah lebih agamis. “Jika pendidikan nasionalnya sudah lebih agamis sudah tidak relevan lagi dikhotomi antara pendidikan agama dan umum.”

Sedangkan guru besar pendidikan UNJ Prof. Soedjiarto memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya penyerahan pendidikan keagamaan ke kemendikbud tidak bisa dilakukan karena terdapat persoalan sejarah yang harus dihormati. Para tokoh yang memperjuangkan adanya pengelolaan pendidikan keagamaan di Depag harus dihargai jerih payahnya.

Terkait berbagai pendapat di atas yang jelas diskriminasi yang menimpa pendidikan keagamaan harus benar-benar sirna. Karena bentuk diskriminasi apapun itu menyalahi UUD dan Pancasila. bagaimana mungkin pendidikan akan maju jika persolan diskriminasi masih tetap ada?

0 komentar:

Posting Komentar