Mari sekali-kali kita coba buka data Badan Pusat Statistik tentang data survei tenaga kerja nasional. Melihat fakta tentang pengangguran di Indonesia, keresahan akan masa depan akan menjadi mimpi buruk bagi lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2012, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan diploma dan sarjana masing-masing 7,5 persen dan 6,95 persen. TPT pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT sekolah menengah atas 10,34 persen dan TPT sekolah menengah kejuruan 9,51 persen.
Menurut laporan terbaru dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) perusahaan-perusahaan sangat sulit mendapatkan lulusan yang siap pakai dan dapat berpikir kritis. Lebih jauh lagi, survei yang dilakukan oleh World Bank menemukan sekitar 20 - 25 persen lulusan perguruan tinggi lokal memerlukan pelatihan ulang sebelum dapat bekerja.
Masih dari laporan OECD, ternyata universitas-universitas dari Indonesia masih tertinggal dari negara-negara sekitarnya. Dari sisi global competitiveness, sangat kontras jika dibandingkan dengan India misalnya, di mana lulusan sarjana, master, sampai doktor dari India sangat diminati dan banyak terpakai secara di berbagai negara, termasuk juga sudah membanjiri Indonesia.
Tidak satu pun universitas dari Indonesia, baik negeri maupun swasta, yang masuk dalam 400 perguruan tinggi terbaik versi Times Higher Education dari Inggris. Padahal, perkembangan ekonomi Indonesia sering diusahakan untuk disejajarkan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, India, China, Afrika Selatan), akan tetapi BRICS menempatkan universitas mereka dalam daftar 400 universitas terbaik tersebut.
Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan dan mengancam perkembangan ekonomi ke depan. Secara umum, keluhan perusahaan-perusahaan terhadap lulusan universitas lokal adalah kemampuan mengaplikasikan teori dan praktik, kemampuan analitikal, masalah kepemimpinan, serta kemampuan bahasa Inggris. Padahal, masalah tersebut merupakan sesuatu yang mendasar yang dibutuhkan dalam dunia kerja dewasa ini. Ironisnya semua tuntutan perusahaan tersebut seharusnya dapat disiapkan dengan baik oleh perguruan tinggi.
Menurut laporan terbaru dari OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) perusahaan-perusahaan sangat sulit mendapatkan lulusan yang siap pakai dan dapat berpikir kritis. Lebih jauh lagi, survei yang dilakukan oleh World Bank menemukan sekitar 20 - 25 persen lulusan perguruan tinggi lokal memerlukan pelatihan ulang sebelum dapat bekerja.
Masih dari laporan OECD, ternyata universitas-universitas dari Indonesia masih tertinggal dari negara-negara sekitarnya. Dari sisi global competitiveness, sangat kontras jika dibandingkan dengan India misalnya, di mana lulusan sarjana, master, sampai doktor dari India sangat diminati dan banyak terpakai secara di berbagai negara, termasuk juga sudah membanjiri Indonesia.
Tidak satu pun universitas dari Indonesia, baik negeri maupun swasta, yang masuk dalam 400 perguruan tinggi terbaik versi Times Higher Education dari Inggris. Padahal, perkembangan ekonomi Indonesia sering diusahakan untuk disejajarkan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, India, China, Afrika Selatan), akan tetapi BRICS menempatkan universitas mereka dalam daftar 400 universitas terbaik tersebut.
Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan dan mengancam perkembangan ekonomi ke depan. Secara umum, keluhan perusahaan-perusahaan terhadap lulusan universitas lokal adalah kemampuan mengaplikasikan teori dan praktik, kemampuan analitikal, masalah kepemimpinan, serta kemampuan bahasa Inggris. Padahal, masalah tersebut merupakan sesuatu yang mendasar yang dibutuhkan dalam dunia kerja dewasa ini. Ironisnya semua tuntutan perusahaan tersebut seharusnya dapat disiapkan dengan baik oleh perguruan tinggi.
Link and Match
Berdasarkan laporan OECD di atas terlihat bahwa masalah pengangguran di Indonesia, terutama pengangguran dari kalangan terdidik, tidak serta-merta akibat kurangnya ketersediaan lapangan kerja. Namun, Indonesia menghadapi masalah lain yaitu rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi sehingga tidak terserap oleh perusahaan terutama perusahaan dengan standar multinasional.
Berangkat dari kondisi tersebut, konsep keterkaitan dan kesepadanan atau link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja sepertinya sudah saatnya mulai diangkat lagi, tentu saja dengan memperhatikan perkembangan yang ada. Konsep ini memungkinkan universitas untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Ada tiga komponen yang terlibat dalam link and match, yaitu perguruan tinggi, perusahaan, dan pemerintah.
Peran perguruan tinggi menjadi sentral karena di sanalah pembentukan lulusan yang dibutuhkan perusahaan. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja, bisa mengantisipasi kompetensi yang diperlukan dunia kerja. Perguruan tinggi juga seharusnya mulai mengembangkan kurikulum dengan menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi perkuliahan.
Pemerintah seharusnya mendorong pihak universitas dan perusahaan untuk dapat bersinergi. Pada akhirnya pemerintah akan diuntungkan jika lulusan perguruan tinggi dapat terserap sehingga beban pengangguran kalangan terdidik bisa dikurangi. Namun demikian, link and match juga harus diikuti dengan pendidikan etika dan integritas yang menjadi pondasi bagi setiap profesi.
Hal ini mengingat praktik korupsi yang sudah sangat akut dalam perekonomian, hukum, dan politik nasional saat ini. Penegakan dan penghormatan hukum hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dan pribadi yang memunyai etika dan integritas tinggi. Tanpa etika dan integritas tinggi tentu semua keahlian menjadi tidak bernilai, sebaliknya akan melemahkan institusi maupun negara sekalipun.
Oleh karena itu, konsep link and match harus sejalan dengan pendidikan etika dan integritas untuk membangun generasi baru yang jujur, berintegritas tinggi, dan menentang segala bentuk sikap koruptif yang merusak bangsa. Kurikulum yang tepat guna harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar lapangan kerja, dengan didukung oleh kurikulum etika dan integritas yang harus diterapkan di seluruh lembaga pendidikan nasional. Hal ini penting demi membangun generasi Indonesia yang memiliki kompetensi tinggi dan bisa memenuhi tuntutan perkembangan dunia internasional.
Berangkat dari kondisi tersebut, konsep keterkaitan dan kesepadanan atau link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja sepertinya sudah saatnya mulai diangkat lagi, tentu saja dengan memperhatikan perkembangan yang ada. Konsep ini memungkinkan universitas untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Ada tiga komponen yang terlibat dalam link and match, yaitu perguruan tinggi, perusahaan, dan pemerintah.
Peran perguruan tinggi menjadi sentral karena di sanalah pembentukan lulusan yang dibutuhkan perusahaan. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja, bisa mengantisipasi kompetensi yang diperlukan dunia kerja. Perguruan tinggi juga seharusnya mulai mengembangkan kurikulum dengan menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi perkuliahan.
Pemerintah seharusnya mendorong pihak universitas dan perusahaan untuk dapat bersinergi. Pada akhirnya pemerintah akan diuntungkan jika lulusan perguruan tinggi dapat terserap sehingga beban pengangguran kalangan terdidik bisa dikurangi. Namun demikian, link and match juga harus diikuti dengan pendidikan etika dan integritas yang menjadi pondasi bagi setiap profesi.
Hal ini mengingat praktik korupsi yang sudah sangat akut dalam perekonomian, hukum, dan politik nasional saat ini. Penegakan dan penghormatan hukum hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dan pribadi yang memunyai etika dan integritas tinggi. Tanpa etika dan integritas tinggi tentu semua keahlian menjadi tidak bernilai, sebaliknya akan melemahkan institusi maupun negara sekalipun.
Oleh karena itu, konsep link and match harus sejalan dengan pendidikan etika dan integritas untuk membangun generasi baru yang jujur, berintegritas tinggi, dan menentang segala bentuk sikap koruptif yang merusak bangsa. Kurikulum yang tepat guna harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar lapangan kerja, dengan didukung oleh kurikulum etika dan integritas yang harus diterapkan di seluruh lembaga pendidikan nasional. Hal ini penting demi membangun generasi Indonesia yang memiliki kompetensi tinggi dan bisa memenuhi tuntutan perkembangan dunia internasional.
0 komentar:
Posting Komentar