Sudah hampir satu pekan pasukan Nato menyerang Libya, namun belum ada tanda-tanda Khadafi mundur dan menyerahkan kekuasaannya pada oposisi. Malah perkembangannya hingga saat ini pasukan loyalis khadafi telah merebut kembali tiga kota yang sebelumnya dipegang oleh pasukan oposisi.
Sepertinya tentara sekutu butuh waktu lama untuk menjatuhkan kekuasaan Khadafi, dengan demikian dana yang akan dikeluarkan mereka pun akan semakin banyak. Padahal pengeluaran untuk invasi di Libya telah menyedot anggaran yang cukup besar di Negara masing-masing.
Meski pasukan Khadafi sampai saat ini belum dapat ditaklukan, namun Nato kelihatanya tidak akan menghentikan serangan sampai pasukan Khadafi benar-benar menyerah. Walaupun dengan konsekuensi anggaran yang terus keluar untuk membiayai serangan tersebut.
Melihat kondisi seperti itu, kita mempertanyakan apakah serangan Nato ke Libya adalah murni demi perdamaian ataukah memang ada kepentingan yang tersembunyi. Selanjutnya mengapa dalam masalah Libya, anggota negara Nato terutama amerika terlihat begitu antusias untuk mendukung gerakan oposisi yang ada di sana?
Mengingat libya termasuk penghasil minyak dengan kualitas paling bagus di timur tengah, memang ada kemungkinan bahwa serangan Nato hanya ingin menguasi minyak yang ada di Libya seperti yang terjadi di Irak beberapa tahun silam dengan dalih menyimpan senjata pemusnah masal. Padahal hingga saat ini senjata itu belum terbukti kebenarannya.
Khadafi dalam sejarahnya memang telah menjadi diktator yang selalu menentang amerika dan sekutunya. Sehingga ketika diktator itu mendapat perlawanan dari rakyatnya ini menjadi momentum bagi amerika dan sekutunya untuk menguasai Negara tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan oposisi menentang kediktatoran Khadafi dan menginginkan terwujudnya Negara yang demokrasi seakan hanya menjadi utopia belaka. Karena jika amerika dan sekutunya berhasil membantu oposisi menjatuhkan khadafi. Konsekuensinya pemerintahan oposisi harus mau menuruti segala kebijakan amerika yang selama ini selalu ditentang oleh Khadafi.
Oleh karena itu, Libya bisa menjadi seperti Arab Saudi yang selalu menuruti kebijakan luar negeri Amerika. Sehingga selalu menuruti apa yang diinginkan oleh Negara super power itu. Dan cita-cita oposisi untuk mewujudkan demokrasi yang mandiri tidak akan pernah terwujud.
Sepertinya tentara sekutu butuh waktu lama untuk menjatuhkan kekuasaan Khadafi, dengan demikian dana yang akan dikeluarkan mereka pun akan semakin banyak. Padahal pengeluaran untuk invasi di Libya telah menyedot anggaran yang cukup besar di Negara masing-masing.
Meski pasukan Khadafi sampai saat ini belum dapat ditaklukan, namun Nato kelihatanya tidak akan menghentikan serangan sampai pasukan Khadafi benar-benar menyerah. Walaupun dengan konsekuensi anggaran yang terus keluar untuk membiayai serangan tersebut.
Melihat kondisi seperti itu, kita mempertanyakan apakah serangan Nato ke Libya adalah murni demi perdamaian ataukah memang ada kepentingan yang tersembunyi. Selanjutnya mengapa dalam masalah Libya, anggota negara Nato terutama amerika terlihat begitu antusias untuk mendukung gerakan oposisi yang ada di sana?
Mengingat libya termasuk penghasil minyak dengan kualitas paling bagus di timur tengah, memang ada kemungkinan bahwa serangan Nato hanya ingin menguasi minyak yang ada di Libya seperti yang terjadi di Irak beberapa tahun silam dengan dalih menyimpan senjata pemusnah masal. Padahal hingga saat ini senjata itu belum terbukti kebenarannya.
Khadafi dalam sejarahnya memang telah menjadi diktator yang selalu menentang amerika dan sekutunya. Sehingga ketika diktator itu mendapat perlawanan dari rakyatnya ini menjadi momentum bagi amerika dan sekutunya untuk menguasai Negara tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan oposisi menentang kediktatoran Khadafi dan menginginkan terwujudnya Negara yang demokrasi seakan hanya menjadi utopia belaka. Karena jika amerika dan sekutunya berhasil membantu oposisi menjatuhkan khadafi. Konsekuensinya pemerintahan oposisi harus mau menuruti segala kebijakan amerika yang selama ini selalu ditentang oleh Khadafi.
Oleh karena itu, Libya bisa menjadi seperti Arab Saudi yang selalu menuruti kebijakan luar negeri Amerika. Sehingga selalu menuruti apa yang diinginkan oleh Negara super power itu. Dan cita-cita oposisi untuk mewujudkan demokrasi yang mandiri tidak akan pernah terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar