Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 29 Oktober 2012

Menggugat Kebijakan Peguruan Tinggi

Ketika saya mudik ke kampung halaman pada liburan semester kemarin, saya mendengar pembicaraan masyarakat tentang anaknya yang sudah lulus di perguruan tinggi. ”Anak saya sudah sarjana tapi tidak bisa jadi pegawai negeri. Ngurus lamar kerja sana sini tidak gol. Terpaksa ngurus sawah bantu-bantu saya bekerja.” Yang satu lagi dengan nada prihatin mengatakan: ”Anak saya sudah daftar PNS berkali-kali tetap saja tidak jebol.
Padahal termasuk lulusan terbaik dengan nilai cum laude”. Dalam kesempatan bincang-bincang itu, tidak pernah mereka kaitkan kegagalan anak-anak mereka dengan mutu pendidikan dan mutu perguruan tinggi di mana anak mereka kuliah. Justru mereka lihatnya dari sisi lain seperti ’tidak ada orang dalam, tidak ada uang sogok untuk lolos lamar kerja, pimpinannya terlalu kejam, dan lain-lain sebagainya’.

Masyarakat kita tidak terbiasa berpikir kritis kenapa perguruan tinggi tidak bisa menghasilkan lulusan yang langsung dapat kerja? Dan kalau perlu mereka mencoba mempertanyakan kenapa lulusan perguruan tinggi tidak mampu menyiapkan lapangan pekerjaan?

Padahal berbicara tentang perguruan tinggi tidak pernah terlepas dengan Permendiknas nomor 19 tahun 2007 mengenai delapan standar mutu pendidikan nasional: kurikulum (bermuatan kompetensi), standar lulusan relevan dengan dunia kerja, proses pembelajaran yang berkarakter dan menyenangkan, staf pendidik profesional dan berkarakter, sarana-prasarana yang memadai, pengelolaan berbasis tujuan, dana cukup, dan evaluasi yang terstandar. Singkatnya, arah ke delapan standar mutu itu adalah mempersiapkan calon penyedia lapangan kerja dan tenaga kerja itu sendiri. Artinya pendidikan di perguruan tinggi harus merupakan miniaturnya kompetensi dunia kerja. Kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja dikemas dan dibawa ke kelas/ruang kuliah, sehingga mahasiswa, dipersiapkan dengan berbagai hal yang bakal diterapkan di dunia kerja.

Namun fakta di lapangan ternyata banyak perguruan tinggi belum dapat menerjemahkan maksud dari delapan standar nasional pendidikan tersebut. Kampus yang diberi otonomi khusus untuk mengembakan dirinya ternyata tidak sanggup mencetak lulusan yang kompeten di dunia kerja. Bahkan yang lebih miris, kampus seakan hanya menyiapkan “sarjana pengangguran” tiap tahunnya.

Bahkan menurut Prof. Imam prayogo Rektor UIN Malang, kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini terdengar sangat menyedihkan. Menurutnya pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana. Jumlah pengangguran sarjana itu sudah  sedemikian besar,  hingga suara tentang sarjana menganggur sudah dapat didengarkan di mana-mana. Entah benar atau tidak, ada informasi bahwa,  banyak tukang ojek di kota-kota besar,  ternyata  bergelar sarjana. 
Memperbaiki Mutu
Baru-baru ini perguruan tinggi berlomba-lomba untuk mendapatkan ISO 9001 mengenai mutu. Padahal konsep ISO tersebut hanya merupakan sejenis bentuk sertifikat yang tidak bisa memecahkan persoalan perguruan tinggi kita selama ini. Bagaimana mungkin masalah mengenai pengangguran dapat terselesaikan hanya dengan mendapatkan sertifikat ISO yang perlu uang yang tidak sedikit. Karena ISO hanyalah lembaga yang menilai berdasarkan standard kriteria yang dibuat. Sedangakan setiap Negara memiliki kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda-beda. Lagipula ISO di Negara asalnya juga sudah mulai ditinggalkan karena bertentangan dengan hakikat pendidikan.
Maka sangat terdengar lucu jika perguruan tinggi saat ini banyak berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat ISO. Padahal Persoalan yang harus segera dilakukan oleh perguruan tinggi adalah bagaimana meningkatkan mutunya dengan cara merumuskan kembali kebijakan-kebijakan yang diambil dengan renstra yang telah dibuat. Atau jika masalahnya terletak pada renstranya maka renstra tersebut perlu disusun ulang dengan mempertimbangkan kondisi yang dibutuhkan saat ini. 
Apa yang harus mulai kita lakukan? Menjawab pertanyaan ini sebenarnya sangat sederhana. Mengikuti perkataan gubernur DKI Jakarta yang baru jokowi “kita tidak perlu bikin perencanaan yang muluk-muluk yang penting eksekusinya.”
Para pejabat perguruan tinggi hendaknya langsung mengeksekusi kebijakan yang telah dibuat. Jangan sampai kebijakan tersebut hanya pepesan kosong tanpa arti. Para rektor dan bahawanya harus segera mulai merealisasikan perencanaan yang telah dibuat sebelum semuanya terlambat.


0 komentar:

Posting Komentar