“manusia harus memilih antara tetap bebas, tidak saling bergantung namun
mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis”
Pokok bahasan pertama
Manusia
dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu. Yang satu menganggap diri
sebagai majikan, tetapi tanpa menyadarinya, sebenarnya, ia sendiri lebih
bergantung pada budaknya itu. Bagaimana perubahan itu terjadi? Saya tidak
mengetahuinya. Apa yang dapat menjadikan perubahan itu sah? Rasanya saya dapat
menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
Jika hanya
menelaah kekuatan dan akibat yang ditimbulkannya, saya akan mengatakan : selama
rakyat dipaksa untuk menurut dan kalau mereka patuh, segalanya berjalan baik;
begitu mereka dapat menggoyahkan belenggu itu, dan jika mereka merenggutnya,
keadaan akan menjadi lebih baik lagi. Jika mereka ingin merebut kembali kebebasannya
dengan prinsip sama yang telah membuat kebebasan itu terampas dari tangannya,
ada dua kemungkinan : atau mereka berhak untuk merebutnya kembali, atau orang
tidak boleh merenggut kemerdekaan itu dari dirinya. Aturan masyarakat adalah
hukum keramat yang menjadi dasar hukum lain. Akan tetapi, hukum itu tidak
berasal dari alam, jadi berdasarkan konvensi. Yang perlu kita ketahui adalah
apakah konvensi itu.
Masyarakat pertama
Bentuk tertua dari segala
masyarakat, dan satu-satunya yang bersifat alami, adalah keluarga. Namun, anak
pun hanyalah terikat pada ayah mereka selama membutuhkannya untuk bertahan
hidup. Begitu kebutuhan itu tidak ada lagi, hubungan alami pun terputus. Anak
dibebaskan dari keharusan mematuhi orang tua, ayah dibebaskan dari mengurusi
anaknya, semua secara bersama-sama mendapat kebebasan masing-masing. Jika
mereka tetap bersatu, keadaan itu tidak lagi berjalan secara alami, namun
secara sukarela. Jadi, keluarga pun
hanya dapat bertahan atas dasar konvensi.
Kebebasan yang lazim itu adalah
konsekuensi dari kodrat manusia. Hukum pertama adalah menjaga agar diri sendiri
dapat bertahan hidup. Usaha pertama adalah apa yang wajib dilakukannya untuk
diri sendiri. Mengingat bahwa ia sendirilah yang berhak menentukan cara yang
baik untuk mengatasi masalah dalam hidupnya. Maka, begitu menginjak usia
dewasa, ia menjadi majikan dirinya sendiri.
Jadi, dapat dikatakan bahwa
keluarga adalah model pertama dari masyarakat politis: pemimpin digambarkan
sebagai ayah, sedangkan rakyat adalah anaknya. Karena masing-masing lahir
dengan derajat yang sama dan bebas, semua hanya mengalienasi kebebasannya jika
ada gunanya. Perbedaannya hanyalah bahwa dalam suatu keluarga, kecintaan ayah
pada anaknya dianggap imbalan atas usaha yang dilakukannya untuk mengurus
mereka. Sementara itu, dalam suatu Negara, kesenangan memerintah menggantikan
rasa cinta pada rakyat, yang tidak dimiliiki oleh sang kepala.
Hak si terkuat
Yang terkuat sekalipun tidak
pernah cukup kuat untuk tetap menjadi majikan kalau ia tidak mengubah
kekuasaannya menjadi hak, dan kepatuhan menjadi kewajiban. Dari situlah berasal
hak yang berdasarkan kekuatan. Jadi, di permukaan hak diartikan secara ironis,
namun pada kenyataannya diterima sebagai prinsip. Apakah kata-kata itu tidak
akan pernah dijelaskan orang kepada kita? Kekuatan adalah kemampuan fisik. Saya
tidak melihat segi etis apa yang ditimbulkan sebagai dampaknya. Menyerah pada
kekuatan adalah tindakan yang diperlukan, bukan dikehendaki, paling tidak
suatau tindakan hati-hati. Bagaiman mungkin menyerah dapat berubah menjadi
kewajiban?
Andaikan apa yang disebut hak itu
ada. Saya menegaskan bahhwa anggapan itu menghasilkan omong kosong belaka. Alasannya,
begitu kekuatan menimbulkan hak, akibatnya pun akan berubah sesuai dengan
sebabnya; semua kekuatan yang mengalahkan kekuatan terdahulu akan menetapkan
kembali apa yang disebut hak. Begitu orang membangkang tanpa dihukum, orang bisa
melakukannya secara sah, dan karena si terkuat selalu di pihak yang benar, yang
harus diusahakan adalah menjadi si terkuat itu. Padahal, hak macam apa yang
hilang, begitu kekuatan itu tidak ada lagi? Jika harus menurut karena kekuatan,
bukankah orang tidak perlu menurut karena kewajiban? Dan jika tidak ada lagi
paksaan untuk menurut, orang tidak perlu melakukannya. Jadi kita melihat bahwa
kata hak itu tidak menambah apa pun pada kekuatan. Kata itu tidak berarti sama
sekali.
Kata orang kita harus patuh pada
kekuatan. Jika itu akan berarti “menyerah pada kekuatan”, rumus itu baik namun
berlebihan. Lalu, dapat saya jawab bahwa aturan itu tak pernah dilanggar. Semua
kekuatan datang dari Tuhan, saya mengakui hal itu, namun semua penyakit datang
dari dia juga. Apakah berarti bahwa kita dilarang memanggil dokter? Apabila
penjahat menghadang saya di sudut hutan: bukankah saya harus menyerahkan dompet
karena dipaksa oleh suatu kekuatan walaupun menyadari bahwa saya bisa saja menyembunyikannya?
Bagaimanapun, pistol yang dipegannya adalah juga suatu kekuatan.
Jadi marilah kita menyepakati
bahwa kekuatan itu tidak memberikan hak, dan bahwa kita hanya wajib patuh
kepada kekuatan yang sah. Demikianlah maka pertanyaan saya semula selalu kembali
lagi.
Demokrasi
Pembuat
undang-undang mengetahui lebih baik daripada siapa pun juga bagaimana
undang-undang itu harus dilaksanakan dan ditafsirkan. Maka, tampaknya tidak ada
yang lebih baik daripada undang-undang yang menggabungkan kekuasaan eksekutif
dan legisaltif. Namun, hal itu jugalah yang menjadikan pemerintah menunjukan
kekurangan dalam bebrapa hal: butir-butir yang seharusnya dibedakan tidak
terpisahkan dan Karena dapat dikatakan bahwa priagung dan berdaulat, yang
tergabung dalam diri seseorang saja, merupakan pemerintah tanpa pemerintah.
Tidak
baik jika pembuat undang-undang juga menerapkannya. Demikian juga jika korps
rakyat memalingkan perhatiannya dari sudut pandangan umum agar dapat lebih
memperhatikan objek pribadi. Tak ada yang lebih berbahaya daripada pengaruh
kepentingan pribadi dalam urusan umum, dan penyalahgunaan undang-undang oleh
pemerintah tidak seberapa jika dibandingkan kebobrokan legislator yang
merupakan akibat dari pandangan pribadi. Oleh karena substansi Negara menjadi
lemah, reformasi apapun tidak mungkin. Rakyat yang tidak pernah menyalahgunakan
kekuasaan pemerintahan tidak akan pernah menyalahgunakan kebebasan. Rakyat yang
selalu memerintah dengan baik tidak perlu diperintah.
Apabila
istilah itu diterima secara ketat, sampai sekarang demokrasi yang sesungguhnya
belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada. Suatu hal bertentangan dengan
tatanan alami apabila sejumlah besar orang memerintah dan sejumlah kecil
diperintah. Tak dapat dibayangkan bahwa rakyat terus-menerus berkumpul untuk
menyelesaikan urusan umum. Dengan mudah dapat dipahami bahwa, untuk keperluan
itu, perlu dibentuk komisi tanpa mengubah bentuk administrasi. Tambahan lagi
begitu banyak maslah yang sulit digabungkan, yang tak dapat dituntut pemerintah
ini! Pertama-tama, suatu Negara sangat kecil yang rakyatnya mudah dikumpulkan
dan setiap warganya dengan mudah mengenal yang lain. Kedua, adat-istiadat
sangat sederhana yang menghindari sejumlah besar urusan dan diskusi yang alot.
Kemudian, tingkat kesetaraan yang sangat baik dalam hierarki masyarakat dan
kekayaaan. Kalu tidak demikian, kesetaraan hukum dan otoritas tidak dapat
berlangsung lama. Akhirnya, sedikit atau sama sekali tidak ada kemewahan karena
kemewahan itu akibat kekayaan, atau, demi kemewahan, kekayaan menjadi hal yang
diperlukan. Kemewahan merusak baik si kaya maupun si miskin, yang pertama
dengan nafsu memiliki, yang lain dengan kerakusan. Demi kemewahan, tanah air
dikorbankan untuk hura-hura dan hal yang sia-sia. Kemewahan menyebabkan Negara
kehilangan semua warga terbaiknya karena mereka saling memperbudak, dan karena
tak ada yang mereka pikirkan selain pendapat orang tentang gengsi mereka.
Baiklah, kita
tambahkan bahwa tidak ada pemerintah yang begitu banyak mengalami perang
saudara dan kerusuhan dalam negeri, seperti pemerintah yang demokratis atau
kerakyatan, karena tak ada satu pun yang begitu cenderung dan terus-menerus
berubah bentuk ataupun yang menuntut kegigihan dan keberanian lebih besar agar
dapat tetap mempertahankan bentuknya itu.
Seandainya ada
rakyat yang terdiri dari dewa-dewa, ia akan dapat diperintah secara demokratis.
Pemerintah yang begitu sempurna tidak cocok bagi manusia.
Rakyat
Sama dengan
membangun gedung, arsitek terlebih dahulu meneliti keadaan tanah untuk melihat
apakah mampu menahan beban, legislator yang bijaksana tidak mulai dengan
menyusun undang-undang yang baik untuk undang-undang itu sendiri, namun ia
menguji dahulu apakah rakyat yang akan menerimanya memang sanggup
menanggungnya.
Sebagian besar
rakyat, dan manusia pada umumnya, hanya patuh ketika masih muda, begitu menjadi
tua mereka tak dapat diperbaiki lagi. Sekali adat istiadat mapan dan pelbagai
prasangka berakar, sangat berbahaya dan sia-sia kalau kita berusaha
mengubahnya. Rakyat bahkan menolak sama sekali ketika penyakitnya dirawat untuk
disembuhkan, sama dengan orang sakit yang bodoh dan tidak tabah, yang gemetar
melihat dokter.
Seperti
beberapa penyakit yang mengacaukan ingatan manusia dan membuatnya lupa pada
masa lalu, kadangkala di dalam kehidupan pelbagai Negara terjadi revolusi yang
menimbulkan krisis dalam diri rakyat, seperti juga krisis yang dialami para
individu, yang kekejamannya demikian rupa sehingga rakyat lebih suka
melupakannya, dan yang membuat Negara yang pernah diamuk perang saudara seperti
terlahir kembali dari abunya dan menjadi muda kembali ketika keluar dari
pelukan maut.
Namun,
kejadian semacam itu langka dan merupakan kekecualian yang penjelasannya terdapat
dalam pembentukan khas Negara tersebut. Kekecualian itu bahkan tak mungkin
terjadi dua kali pada rakyat yang sama karena rakyat dapat menjadi bebas selama
mereka hanya makhluk bar-bar, namun tidak mungkin kembali bebas manakala
semangat politisnya usang. Dalam hal itu, kekacauan dapat menghancurkannya, namu
revolusi tidak mungkin membangunnya kembali, dan begitu besi-besi pengikat
patah, rakyat cerai-berai dan sirna. Maka, diperlukan seorang majikan dan bukan
seorang pembebas. Rakyat bebas, ingatlah selalu pada prinsip ini: “kita dapat
memperoleh kebebasan, namun sekali hilang, tidak akan pernah memperolehnya
kembali.
Masa muda
bukanlah masa kanak-kanak. Bangsa sama dengan manusia, ada masa muda atau masa
dewasa yang harus ditunggu sebelum mereka dikenai undang-undang. Namun, masa
dewasa rakyat tidak selamanya mudah untuk diketahui dan, jika kita
mendahuluinya, undang-undang menjadi sia-sia. Rakyat yang satu berdisiplin
sejak lahir, sementara yang lain tidak mampu walaupun umurnya sudah
berabad-abad.
Agama
sipil
Mula-mula
orang tidak mempunyai raja lain selain dewa ataupun pemerintah lain selain
teokrasi. Diperlukan waktu yang lama untuk mengubah perasaan dan pikiran sampai
orang memutuskan untuk mengangkat sesamanya menjadi majikan, serta dapat
berbangga hati karena mendapat kecocokan dalam cara seperti itu.
Dengan menempatkan
dewa pada puncak setiap masyarakat politis, jumlah kelompok rakyat sama
banyaknya dengan jumlah dewa itu. Dua rakyat yang asing satu sama lain, dan
hampir selalu bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikan yang sama dalam waktu
lama: dua angkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan mematuhi
pemimpin yang sama. Demikianlah, berkat keberadaan bangsa, munculah politiesme
yang berbuntut terjadinya sikap tidak toleran dalam bidang agama dan politik,
yang pada hakikatnya sama saja, seperti akan dibicarakan berikut ini.
Orang
mempertanyakan bagaimana mungkin dalam paganisme, tatkala setiap Negara
memiliki kepercayaan dan dewa masing-masing, tidak ada perang agama sama
sekali? Saya jawab bahwa apabila tampaknya begitu, alasannya adalah karena setiap
Negara memiliki kepercayaan serta pemerintah sendiri, tidak mengadakan
pembedaan antara dewa dan undang-undang sehingga peperangan politis pada
hakikatnya adalah juga teologis. Wilayah dewa itu boleh dikatakan ditetapkan
berdasarkan pengotakan bangsa-bangsa. Dewa rakyat yang satu tidak mempunyai hak
apa-apa terhadap rakyat yang lain. Dewa zaman berhala sama sekali bukan dewa
yang suka iri hati, mereka saling berbagi wilayah kekaisaran dunia. Bahkan musa
dan orang yahudi kadang-kadang memakai dasar pikiran itu, pada waktu
membicarakan Tuhan bangsa israil.
Namun, tatkala
orang yahudi yang takluk kepada raja babylonia dan kemudian kepada raja-raja
Syria bersikeras tidak mau mengakui dewa lain selain dewa mereka, penolakan
itu, yang dianggap sebagai pemberontakan terhadap pihak pemenang, menyebabkna
mereka dikejar-kejar seperti kita baca dalam sejarah. Peristiwa lain semacam
itu tidak pernah muncul sebelum munculnya agama Kristen.
Mengingat
setiap agama hanya terikat pada undang-undang Negara yang menganutnya, tidak
ada jalan lain untuk menyuruh rakyat lain memasuki agama itu selain
menjajahnya. Tidak ada misionaris lain selain para penakluk. Karena kewajiban
berganti kepercayaan merupakkan hukum bagi yang kalah, yang pertama harus
dilakukan adalah menaklukan mereka. Bukannya orang berjuang demi dewa,
melainkan, seperti yang dikisahkan homerus, dewa itulah yang berkelahi demi
mereka. Setiap orang memohon kemenangan kepada dewanya, serta membayarnya
dengan membangun altar baru.
Setelah orang
romawi memperluas wilayah kepercayaan serta dewa mereka bersamaan dengan
wilayah kekaisaran mereka. Sering juga, setelah mereka sendiri mengakui
kepercayaan rakyat yang mereka taklukan dengan jalan memeluknya, secara
berangsur-angsur rakyat itu memiliki sejumlah besar agama dan kepercayaan.
Keadaannya hampir sama di mana pun. Begitulah caranya paganisme pada akhirnya
dikenal sebagai satu-satunya agama di dunia ini.
Dalam situasi
demikianlah, muncul jesus untuk membangun kerajaan spiritual di bumi ini.
Dengan memisahkan sistem teologis dari sistem politik, Negara tidak lagi
merupakan satu kesatuan dan terjadi pembagian di dalam, yang tak henti-hentinya
menimbulkan keributan di antara rakyat penganut agama Kristen. Mengingat bahwa
gagasan baru tentang kerajaan akhirat tidak pernah terpikirkan oleh para pemuja
berhala, mereka selalu menganggap penganut Kristen sebagai pemberontak yang
sesungguhnya. Sementara mematuhi secara munafik, mereka berusaha mencari saat
untuk memerdekakan diri menjadi majikan. Dengan lihainya mereka juga merampas
otoritas yang pura-pura mereka hormati selagi kekuatan mereka masih lemah.
Itulah alasan pengejaran mereka.
Apa yang
ditakutkan para pemuja berhala telah terjadi. Maka, semuanya berganti wajah,
para penganut Kristen yang merendahakan diri telah berganti bahasa. Tak lama
kemudian, di bawah pemimpin yang wujudnya kelihatan, apa yang disebut kerajaan
akhirat itu menjadi despotisme yang paling bengis di dunia yang fana ini.
Namun, karena
selalu ada priagung dan hukum perdata, kekuasaan ganda ini mengakibatkan
konflik yuridiksi yang berkelanjutan sehingga tidak mungkin diciptakkan suatu
pemerintah yang baik di Negara Kristen. Orang tak pernah berhasil mengetahui,
siapa di antara majikan dan pastor yang wajib mereka patuhi.
Akan tetapi,
beberapa rakyat, beberapa rakyat, bahkan di Eropa atau di Negara sekitarnya,
pernah berkeinginan untuk mempertahankan atau mengembalikan sistem lama, namun
tidak berhasil. Semangat Kristen telah merasuki segalanya. Pelaksanaan
kepercayaan tetap atau kembali dilakasanakan di luar kekuasaan pemimpin
politis, tanpa hubungan yang diperlukan dengan korps Negara. Nabi Muhammad
memiliki pandangan yang sangat sehat. Ia membangun sistem politisnya dengan
baik dan, selama bentuk pemerintahannya dapat dipertahankan di bawah para khalifah
yang menggantikannnya, pemerintahannya tetap satu, dan baik karenanya. Akan
tetapi, orang arab yang menjadi makmur, beradab, berbudaya, lembek, dan
pengecut, dikuasai oleh orang biadab, maka pemisahan antara kedua kekuasaan
terjadi lagi.
Di antara
semua penulis Kristen, ahli filsafat Hobbes adalah satu-satunya yang telah
dapat melihat keburukan dan cara untuk memperbaikinya, yang telah berani
mengusulkan untuk mempersatukan kedua kepala rajawali itu, dan mengembalikan
semua pada kesatuan politis karena, kalau tidak, baik Negara maupun pemerintah
tidak akan mungkin akan dibentuk dengan baik. Namun, tampaknya ia melihat bahwa
semangat agama Kristen untuk mendominasi tidak mungkin sejalan dengan sistemnya
dan bahwa kepentingan pastor mungkin akan selalu lebih kuat daripada
kepentingan Negara.
Dipandang
dalam hubungannya dengan masyarakat, agama, yang umum ataupun yang khusus,
dapat juga dibagi menjadi dua jenis, yakni agama manusia dan agama warga. Yang
pertama, yang tanpa kuil, tanpa altar, tanpa ritus, semata-mata terbatas pada
pemujaan tuhan yang maha mulia dalam hati masing-masing dan pada kewajiban
moral yang abadi, adalah agama yang murni dan sederhana menurut injil, teisme
yang sesungguhnya, dan apa yang dapat dinamakan undang-undang suci alami. Yang
satu lagi berlaku hanya dalam satu negeri, memberikan dewanya, pengayom
masing-masing atau pelindung. Agama itu mempunyai dogma, upacara ritual, ibadat yang diatur undang-undang. Selain
bangsa yang menganutnya, itu dianggap kafir, asing, dan biadab. Wilayah hak dan
kewajiban manusia baginya hanya sejauh jangkauan altarnya. Begitulah semua
agama yang dianut rakyat pertama di dunia ini, yang dapat dinamai undang-undang
suci Negara atau undang-undang suci positif.
Ada jenis agama
ketiga, yang lebih aneh, karena dengan memberikan kepada manusia dua
undang-undang, dua pemimpin, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang
bertentangan dan yang menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga
sekaligus. Begitutlah agama lamas, agama orang jepang, dan juga pula agama
katolik roma. Kedua agama itu dapat disebut agama rohaniawan. Akibatnya
munculah undang-undang campuran dan sulit dipersatukan yang tidak bernama.
Apabila kita
telaah secara politis, ketiga agama ini ada cacatnya. Agama yang ketiga begitu
jeleknya sehingga membuang-buang waktu saja kalau kita hendak membuktikannya.
Segala yang menghancurkan kesatuan sosial tidak berharga sama sekali. Semua
lembaga yang mempertentangkan manusia dengan dirinya sendiri tidak berharga sama
sekali.
Yang kedua
baik karena agama itu mempersatukan tuhan dengan kecintaan kepada
undang-undang. Dengan menjadikan tanah
air sebagai sasaran pemujaan warga, agama itu mengajarkan bahwa membela tanah
air sama artinya dengan membela tuhan yang menjadi pelindungnya. Itu adalah
sejenis teokrasi. Yang menjadi pemimpin tertinggi agama tak lain dari pemimpin
politisnya dan orang tidak mempunyai pendeta lain kecuali para magistrate.
Maka, mati untuk negerinya berarti mati syahid, menentang undang-undang sama
dengan murtad, membuat seorang terdakwa dibenci umum karena berarti
menjerumuskannya ke dalam murka tuhan.
Namun, agama
tersebut jelek: berhubung berdasarkan
kekeliruan dan dusta, agama itu menipu manusia, menjadikan mereka buta, percaya
takhayul, dan mengorbankan pemujaan tuhan yang sesungguhnya demi upacara yang
tak berguna. Agama itu juga jelek karena, dengan menjadi eksklusif dan tirani,
manusia menjadi bengis dan tidak toleran. Akibatnya, yang dipikirkannya
hanyalah pembunuhan dan pembantaian, serta beranggapan melakukan ibadat dengan
membunuh siapapun yang tidak dapat menerima tuhan mereka. Hal itu membawa
rakyat yang menganutnya ke dalam keadaan perang alami melawan rakyat lain, yang
sangat merusak ketentraman hidup mereka sendiri.
Yang belum
dibahas tinggalah agama manusia atau agama Kristen, bukan seperti yang ada
sekarang, melainkan yang sesuai dengan injil, yang sama sekali berbeda. Menurut
agama yang suci, mulia, dan penuh kebenaran itu, manusia, anak tuhan yang maha
esa, mengaku saling bersaudara dan masyarakat yang mempersatukannya tidak
pernah hancur, bahkan setelah kematian.
Namun, karena
tidak mempunyai hubungan apapun dengan korps politis, agama itu hanya
memberikan kepada undang-undang kekuatan yang berasal dari dirinya saja, tanpa
menambahkan kekuatan lain. Akibatnya, salah satu ikatan kuat dalam masyarakat
khusus tetap tidak dimanfaatkan. Terlebih lagi, agama itu bukannya menambatkan
hati warga kepada negaranya, malahan menjauhkannya dari segala yang ada di
dunia ini. Saya tidak pernah melihat yang lebih bertolak belakang dengan jiwa
sosial daripada hal itu.
Dikatakan
bahwa rakyat yang terdiri dari penganut agama Kristen yang taat akan merupakan
masyarakat paling sempurna yang dibayangkan. Sulit bagi saya menerima anggapan
itu: masalahnya masyarakat yang terdiri dari penganut Kristen yang taat rasanya
tidak dapat lagi dianggap sebagai masyarakat manusia.
Bahkan, dapat
saya katakan bahwa masyarakat yang dibayangkan orang dengan segala
kesempurnaannya itu tidak mungkin menjadi yang terkuat, ataupun yang paling
lestari. Karena kesempurnaannya, masyarakat seperti itu rasanya tidak memiliki
cukup ikatan. Benih penghancurannya justru terdapat dalam kesempurnaanya itu.
0 komentar:
Posting Komentar