Kamis, 19 Mei 2016
Waspadai Pembalikan Modal
Setelah sempat tenang beberapa bulan, kini ekonomi dunia terutama negara berkembang kembali menghadapi cobaan berat dari negara adidaya, Amerika Serikat (AS). Negara paman sam itu rencananya ingin kembali menaikan suku bunga acuannya pada bulan Juni nanti karena kondisi ekonominya yang sudah mulai pulih.
Signal pulihnya perekonomian AS ini bisa dilihat dari beberapa indikator seperti kondisi pasar tenaga kerja yang mulai beranjak membaik dan target inflasi 2% yang diyakini akan tercapai. Selain itu, kondisi pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II juga diperkirakan akan jauh lebih baik di banding kuartal I lalu yang datanya cukup mengecewakan yaitu hanya mampu tumbuh 0,5%.
Bank sentral AS terakhir kali menaikan suku bunganya pada akhir tahun lalu sebesar 25 basis poin. Kenaikan tersebut merupakan kenaikan yang dinanti-nanti pelaku pasar karena selama ini pasar keuangan global selalu dihantui ketidakpastian kenaikan suku bunga AS. Terbukti pada tahun lalu, sejumlah negara berkembang mengalami gejolak yang sangat tinggi baik di pasar saham maupun obligasi.
Di Indonesia sendiri, akibat ketidakpastian kenaikan suku bunga the Fed membuat kinerja pasar saham terjerembab cukup dalam. Sepanjang tahun 2015, indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 12,13%.
Saat ini, suku bunga acuan The Fed berada di level 0,25%-0,5% setelah hampir satu dekade The Fed tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0 – 0,25%. Kabar kenaikan suku bunga the Fed ini tentu saja membuat negara berkembang termasuk Indonesia rentan terhadap larinya modal yang selama ini bersemayam di pasar saham maupun obligasi.
Sejak pekan lalu, setidaknya investor asing sudah mulai berduyun-duyun keluar dari pasar saham Indonesia. Dari tanggal 13 Mei-19 Mei 2016, dana asing yang telah keluar terbilang cukup besar yaitu Rp 1,13 triliun. Meski jika dilihat dari awal tahun, dana asing masih mencatatkan akumulasi beli bersih sebesar Rp 1,94 triliun.
Sementara di pasar obligasi, investor asing yang keluar juga terlihat sudah mulai banyak. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat kemilikan obligasi negara oleh investor asing per 17 Mei 2016 sebesar Rp 621,7 triliun, turun sekitar 4,5 triliun dibandingkan dengan posisi akhir April yang mencapai Rp 626,17 triliun.
Ada ungkapan yang menarik dari Taye Shim, Kepala Riset KDB Daewoo Securities. "Kabar baik yang ada di AS merupakan kabar buruk bagi Indonesia." Ungkapan ini sangat masuk akal karena dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian AS berarti dana asing yang semula masuk ke negara berkembang akan kembali pulang kampung.
Meski kondisi pasar saham maupun obligasi terancam akan keluarnya dana asing, namun itu sifatnya hanya jangka pendek. Paling tidak, kondisi ini akan mereda setelah pelaku pasar selesai memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga The Fed tersebut.
Menurut Taye ekonomi Indonesa masih sanggup menghadapi beberapa tantangan yang datang dari luar termasuk kenaikan suku bunga The Fed ini. "Saya masih mempertahankan prediksi saya bahwa ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,1% pada tahun ini," kata dia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar