Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Minggu, 23 Juni 2013

Sang Kiai: Pejuang Kemerdekaan dari Pesantren

 Selama ini, setidaknya pada pelajaran sejarah kita di sekolah, sedikit sekali atau mungkin tidak ada sama sekali yang membahas kontribusi pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.  Lewat film besutan Rako Prijanto ini kita akan diberi sedikit gambaran bagaimana perjuangan kaum santri merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Film sang Kiai merupakan film yang mengisahkan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari dan kaum santri melawan penjajah pada rentang tahun 1942-1947. Pada rentang waktu itu, bangsa Indonesia dijajah oleh tiga negara secara bergantian yaitu Jepang, Inggris, dan Belanda.
Masa pendudukan Jepang merupakan masa paling berat yang dialami bangsa Indonesia. Kondisi berat itu pun dialami oleh pesantren tak terkecuali pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Sebagai pengasuh pondok pesantren, sekaligus tokoh yang menjadi rujukan bagi sebagian besar muslim Indonesia khususnya warga NU, K.H. hasyim Asy’ari jelas langsung jadi incaran pihak Jepang. Lewat tuduhan sebagai dalang pemberontakan di pabrik Cukir dan tidak mau melakukan upacara sekerei (membungkuk ke arah matahari), tentara Jepang membawa K.H. Hayim Asy’ari ke tahanan.
Penangkapan K.H. Hasyim (Ikranegara) oleh pihak Jepang, membuat para santri berusaha mencari jalan keluar untuk membebaskan tokoh panutannya itu. K.H. Wahid Hasyim (Agus Kuncoro), putra beliau yang menjadi pimpinan pesantren setelah ayahnya ditangkap oleh tentara Jepang, lebih memilih jalan diplomatis untuk membebaskannya.
Harun (Adipati Dolken) salah satu santri K.H. Hasyim Asy’ari memiliki cara tersendiri untuk membebaskan Kiainya. Jalan yang ditempuh Harun berbeda dengan jalur diplomatis yang dilakukan K.H. Wahid Hasyim. Ia lebih memilih jalur anarkis dengan memimpin para santri melakukan unjuk rasa di depan gerbang penjara. Aksi unjuk rasa tersebut ternyata memakan korban yang tidak sedikit. Banyak santri yang tertembak oleh tentara Jepang dalam aksi itu.
Melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh K.H. Wahid Hasyim  ke petinggi Jepang yang berada di Jakarta, akhirnya Jepang melepaskan K.H. Hasyim Asy’ari dan merubah pendekatannya terhadap para Kiai dengan tidak lagi melalui cara-cara kekerasan.  Malahan setelah diplomasi tersebut, Jepang berusaha merangkul para Kiai dengan mendirikan Masyumi yang dipimpin langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Pendirian Masyumi ternyata dimanfaatkan oleh Jepang untuk mengeruk lebih banyak hasil bumi Rakyat. Lewat khutbah Jum’at, para Kiai diminta untuk menyampaikan ayat-ayat  al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi yang menganjurkan rakyat untuk lebih giat meningkatkan hasil panennya.
Namun, hasil bumi yang dihasilkan oleh rakyat harus diserahkan seluruhnya pada pihak Jepang. Penderitaan yang dialami rakyat pun semakin berat jika dibandingkan pada masa penjajahan sebelumnya. Lumbung padi milik rakyat terus menipis. potret rakyat kelaparan yang mengais sisa beras tumpah di jalanan menjadi pemandangan sehari-hari waktu itu.
Kondisi semacam ini menimbulkan pemberontakan dari pihak rakyat. Salah satunya Kiai Zainal Musthofa Tasikmalaya yang mengajak rakyat Jawa Barat untuk melakukan perlawanan pada pihak Jepang. Akibat pemberontakannya, Kiai Zainal dituduh sebagai dalang kerusuhan. Kiai Zainal ditangkap dan kepalanya dipenggal di Pantai Ancol.
Sikap diam K.H. Hasyim melihat kondisi semacam itu ternyata disalahpahami Harun. Sikap diam itu dianggapnya sebagai sikap afiliasi sang kiai pada pihak Jepang. Harun akhirnya pergi dari komplek pesantren dan bergabung dengan para gerliyawan melakukan pemberontakan dengan Jepang.
Saat Kiai Hasyim menyetujui tawaran pelatihan militer bagi kalangan santri, sikap buruk sangka Harun terhadap kiainya makin menjadi. Sampai pada akhirnya ia sadar akan sikapnya selama ini pada sang Kiai. Sikap buruk sangkanya ternyata karena dirinya tak mampu menangkap setiap maksud dari keputusan sang Kiai. Sikap diam sang Kiai pada pemberontakan yang dilakukan Kiai Zainal bukannya beliau tidak setuju, justru diamnya beliau karena mendukung apa yang dilakukan oleh Kiai Zainal.
Begitu pun dengan sikapnya yang menyetujui tawaran pelatihan militer bagi para santri, Harun tidak bisa menangkap maksud Kiai Hasyim. Tawaran pelatihan militer itu merupakan momentum yang pas untuk menumbuhkan kepercayaan diri rakyat yang sudah lama hilang akibat penjajahan. Bukti itu baru terwujud saat Jepang pergi dari Indonesia karena kalah dengan Sekutu. Tentara dari kalangan santri (Hizbullah) ternyata sanggup melakukan perjuangan melawan penjajah yang waktu itu diambil alih oleh pihak sekutu, Inggris.  
Film berdurasi 120 menit ini juga menjelaskan bagaimana proses resolusi jihad yang difatwakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Saat itu utusan Presiden Soekarno dari Jakarta mendatangi kediaman beliau dan berkata “Bung Karno menitipkan pesan kepada Kiai, apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah”.  Beliau pun lantas menjawab “Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain”.  
Ternyata, pengaruh fatwa tersebut mampu menyulut semangat kaum santri untuk ikut berperang melawan penjajah. Pada pertempuran melawan Inggris di surabaya tidak sedikit kaum santri yang ikut bertempur di medan perang. Bahkan dalam film ini diceritakan bahwa yang membunuh  pemimpin tentara Inggris, Brigadir Jenderal Malaby adalah seorang santri.
Menurut saya, kehebatan film ini adalah bagaimana Rako mampu menggambarkan sosok K.H. Hasyim Asy’ari sebagai manusia biasa, bukan sosok sakti mandraguna yang tak mempan senjata. Saat tentara Jepang menyiksa anggota tubuh K.H. Hasyim, beliau juga menjerit kesakitan.
Selain itu, penggambaran situasi pada zaman dulu juga terlihat begitu pas, tidak rugi jika Rapi Film menghabiskan miliaran rupiah dan menyewa 5000 figuran hanya demi mendapatkan situasi yang sesuai pada masa itu.
Sedangkan yang paling saya suka dari film ini adalah bagaimana Rako mampu menggambarkan begitu kejamnya tentara Jepang menyiksa rakyat Indonesia. Mungkin ini adalah film penyiksaan Jepang yang paling baik di jajaran film Indonesia yang bertemakan penjajahan Jepang.
Namun film ini juga tak lepas dari beberapa kekurangan, cerita mengenai K.H. Hasyim banyak yang belum digali. Persoalan seperti tawaran pelatihan militer bagi para santri terlihat biasa saja tanpa ada pertentangan di antara ulama lain. Padahal sebuah keputusan kerjasama dengan pihak penjajah bukanlah sebuah keputusan yang populer, pasti banyak pihak yang menentannya terutama dari kalangan Ulama dan tidak adem ayem seperti yang digambarkan dalam film ini.   
 Selanjutnya, film ini juga terlalu banyak menceritakan tentang sosok Harun. Porsi cerita tentang Harun mungkin hampir sama dengan tokoh utamanya K.H. Hasyim Asy’ari. terkesan Rako kebingungan mengembangakan cerita mengenai K.H. Hasyim Asy’ari sehingga harus dibantu dengan adanya cerita mengenai Harun.    
Sementara jika melihat akting dari para pemain, secara keseluruhan cukup memuaskan. Ikranegara yang berperan sebagai sosok K.H. Hasyim Asy’ari tampil begitu luar biasa. Peran Kiai yang kharismatik dan bijak mampu ia perankan dengan baik tanpa terlihat kaku dan dibuat-buat. Mungkin karena faktor usia yang sudah sepuh sehingga membuat akting Ikrar terlihat begitu natural.
untuk Christine Hakim, tidak usah diragukan lagi aktingnya. Wanita yang sudah memenangkan berbagai piala ini tampil begitu memukau lewat perannya sebagai istri sang Kiai. Meski menurutnya sempat kekurangan bahan mengenai sosok Nyai Kapu, tapi jelas aktingnya menunjukan hal sebaliknya. Christine begitu menjiwai sosok Ibu Nyai yang selalu setia mendampingi suaminya dalam suka maupun duka.
Mungkin yang aktingnya masih kurang malah aktor sekaliber Agus Kuncoro yang telah berpengalaman dalam berbagai film kolosal. Agus terlihat kurang menjiwai perannya sebagai K.H. Wahid Hasyim. Aktingnya dalam film terlihat biasa saja. datar.
Sedangakn Adipati Dolken, pendatang baru yang sebelumnya telah sukses lewat film perahu kertas terlihat makin menunjukan kematangannya. Perannya sebagai Harun, santri yang emosional dan serba berpikir praktis mampu dia perankan dengan baik. Ya, meskipun masih terdapat logat bahasa Jawa yang kaku tapi itu tertutupi oleh penjiwaannya yang hebat.
Tapi yang paling berkesan jelas akting dari Dimas Shimada, pria blasteran jepang ini tampil begitu apik sebagai komandan tentara Jepang. Sebagai aktor pendatang baru Dimas mampu memerankan komandan Jepang yang jahat dan kejam dengan begitu sempurna. Selain itu, logat jepangnya pun begitu fasih sehingga membuat aktingnya makin sempurna dalam film ini.

Secara keseluruhan, film ini merupakan  tontonan yang wajib ditonton khusunya bagi para generasi muda untuk meneladani jiwa nasionalisme K.H. Hasyim Asy’ari.  Film ini juga dapat menjadi alternatif bagi perfilman Indonesia yang saat ini terlalu disuguhi film-film yang kurang mendidik, seperti sinetron bertema percintaan dan horor berbau seks.

0 komentar:

Posting Komentar