Selama ini, setidaknya pada pelajaran sejarah kita
di sekolah, sedikit sekali atau mungkin tidak ada sama sekali yang membahas
kontribusi pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lewat film besutan Rako Prijanto ini kita akan
diberi sedikit gambaran bagaimana perjuangan kaum santri merebut dan
mempertahankan kemerdekaan.
Film
sang Kiai merupakan film yang mengisahkan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari dan
kaum santri melawan penjajah pada rentang tahun 1942-1947. Pada rentang waktu
itu, bangsa Indonesia dijajah oleh tiga negara secara bergantian yaitu Jepang, Inggris,
dan Belanda.
Masa
pendudukan Jepang merupakan masa paling berat yang dialami bangsa Indonesia.
Kondisi berat itu pun dialami oleh pesantren tak terkecuali pesantren Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Sebagai
pengasuh pondok pesantren, sekaligus tokoh yang menjadi rujukan bagi sebagian
besar muslim Indonesia khususnya warga NU, K.H. hasyim Asy’ari jelas langsung
jadi incaran pihak Jepang. Lewat tuduhan sebagai dalang pemberontakan di pabrik
Cukir dan tidak mau melakukan upacara sekerei (membungkuk ke arah matahari), tentara
Jepang membawa K.H. Hayim Asy’ari ke tahanan.
Penangkapan
K.H. Hasyim (Ikranegara) oleh pihak Jepang, membuat para santri berusaha
mencari jalan keluar untuk membebaskan tokoh panutannya itu. K.H. Wahid Hasyim
(Agus Kuncoro), putra beliau yang menjadi pimpinan pesantren setelah ayahnya ditangkap
oleh tentara Jepang, lebih memilih jalan diplomatis untuk membebaskannya.
Harun
(Adipati Dolken) salah satu santri K.H. Hasyim Asy’ari memiliki cara tersendiri
untuk membebaskan Kiainya. Jalan yang ditempuh Harun berbeda dengan jalur
diplomatis yang dilakukan K.H. Wahid Hasyim. Ia lebih memilih jalur anarkis
dengan memimpin para santri melakukan unjuk rasa di depan gerbang penjara. Aksi
unjuk rasa tersebut ternyata memakan korban yang tidak sedikit. Banyak santri
yang tertembak oleh tentara Jepang dalam aksi itu.
Melalui
jalur diplomasi yang dilakukan oleh K.H. Wahid Hasyim ke petinggi Jepang yang berada di Jakarta,
akhirnya Jepang melepaskan K.H. Hasyim Asy’ari dan merubah pendekatannya
terhadap para Kiai dengan tidak lagi melalui cara-cara kekerasan. Malahan setelah diplomasi tersebut, Jepang berusaha
merangkul para Kiai dengan mendirikan Masyumi yang dipimpin langsung oleh K.H. Hasyim
Asy’ari.
Pendirian
Masyumi ternyata dimanfaatkan oleh Jepang untuk mengeruk lebih banyak hasil
bumi Rakyat. Lewat khutbah Jum’at, para Kiai diminta untuk menyampaikan ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi yang
menganjurkan rakyat untuk lebih giat meningkatkan hasil panennya.
Namun,
hasil bumi yang dihasilkan oleh rakyat harus diserahkan seluruhnya pada pihak Jepang.
Penderitaan yang dialami rakyat pun semakin berat jika dibandingkan pada masa
penjajahan sebelumnya. Lumbung padi milik rakyat terus menipis. potret rakyat
kelaparan yang mengais sisa beras tumpah di jalanan menjadi pemandangan
sehari-hari waktu itu.
Kondisi
semacam ini menimbulkan pemberontakan dari pihak rakyat. Salah satunya Kiai Zainal
Musthofa Tasikmalaya yang mengajak rakyat Jawa Barat untuk melakukan perlawanan
pada pihak Jepang. Akibat pemberontakannya, Kiai Zainal dituduh sebagai dalang
kerusuhan. Kiai Zainal ditangkap dan kepalanya dipenggal di Pantai Ancol.
Sikap
diam K.H. Hasyim melihat kondisi semacam itu ternyata disalahpahami Harun.
Sikap diam itu dianggapnya sebagai sikap afiliasi sang kiai pada pihak Jepang.
Harun akhirnya pergi dari komplek pesantren dan bergabung dengan para
gerliyawan melakukan pemberontakan dengan Jepang.
Saat
Kiai Hasyim menyetujui tawaran pelatihan militer bagi kalangan santri, sikap
buruk sangka Harun terhadap kiainya makin menjadi. Sampai pada akhirnya ia sadar
akan sikapnya selama ini pada sang Kiai. Sikap buruk sangkanya ternyata karena
dirinya tak mampu menangkap setiap maksud dari keputusan sang Kiai. Sikap diam
sang Kiai pada pemberontakan yang dilakukan Kiai Zainal bukannya beliau tidak
setuju, justru diamnya beliau karena mendukung apa yang dilakukan oleh Kiai
Zainal.
Begitu
pun dengan sikapnya yang menyetujui tawaran pelatihan militer bagi para santri,
Harun tidak bisa menangkap maksud Kiai Hasyim. Tawaran pelatihan militer itu
merupakan momentum yang pas untuk menumbuhkan kepercayaan diri rakyat yang
sudah lama hilang akibat penjajahan. Bukti itu baru terwujud saat Jepang pergi
dari Indonesia karena kalah dengan Sekutu. Tentara dari kalangan santri
(Hizbullah) ternyata sanggup melakukan perjuangan melawan penjajah yang waktu
itu diambil alih oleh pihak sekutu, Inggris.
Film
berdurasi 120 menit ini juga menjelaskan bagaimana proses resolusi jihad yang
difatwakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Saat itu utusan Presiden Soekarno dari
Jakarta mendatangi kediaman beliau dan berkata “Bung Karno menitipkan pesan
kepada Kiai, apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah”. Beliau pun lantas menjawab “Hukum membela
negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain”.
Ternyata,
pengaruh fatwa tersebut mampu menyulut semangat kaum santri untuk ikut
berperang melawan penjajah. Pada pertempuran melawan Inggris di surabaya tidak
sedikit kaum santri yang ikut bertempur di medan perang. Bahkan dalam film ini
diceritakan bahwa yang membunuh pemimpin
tentara Inggris, Brigadir Jenderal Malaby adalah seorang santri.
Menurut
saya, kehebatan film ini adalah bagaimana Rako mampu menggambarkan sosok K.H. Hasyim
Asy’ari sebagai manusia biasa, bukan sosok sakti mandraguna yang tak mempan
senjata. Saat tentara Jepang menyiksa anggota tubuh K.H. Hasyim, beliau juga
menjerit kesakitan.
Selain
itu, penggambaran situasi pada zaman dulu juga terlihat begitu pas, tidak rugi
jika Rapi Film menghabiskan miliaran rupiah dan menyewa 5000 figuran hanya demi
mendapatkan situasi yang sesuai pada masa itu.
Sedangkan
yang paling saya suka dari film ini adalah bagaimana Rako mampu menggambarkan
begitu kejamnya tentara Jepang menyiksa rakyat Indonesia. Mungkin ini adalah
film penyiksaan Jepang yang paling baik di jajaran film Indonesia yang bertemakan
penjajahan Jepang.
Namun
film ini juga tak lepas dari beberapa kekurangan, cerita mengenai K.H. Hasyim banyak
yang belum digali. Persoalan seperti tawaran pelatihan militer bagi para santri
terlihat biasa saja tanpa ada pertentangan di antara ulama lain. Padahal sebuah
keputusan kerjasama dengan pihak penjajah bukanlah sebuah keputusan yang
populer, pasti banyak pihak yang menentannya terutama dari kalangan Ulama dan
tidak adem ayem seperti yang
digambarkan dalam film ini.
Selanjutnya, film ini juga terlalu banyak
menceritakan tentang sosok Harun. Porsi cerita tentang Harun mungkin hampir
sama dengan tokoh utamanya K.H. Hasyim Asy’ari. terkesan Rako kebingungan
mengembangakan cerita mengenai K.H. Hasyim Asy’ari sehingga harus dibantu
dengan adanya cerita mengenai Harun.
Sementara
jika melihat akting dari para pemain, secara keseluruhan cukup memuaskan. Ikranegara
yang berperan sebagai sosok K.H. Hasyim Asy’ari tampil begitu luar biasa. Peran
Kiai yang kharismatik dan bijak mampu ia perankan dengan baik tanpa terlihat kaku
dan dibuat-buat. Mungkin karena faktor usia yang sudah sepuh sehingga membuat
akting Ikrar terlihat begitu natural.
untuk
Christine Hakim, tidak usah diragukan lagi aktingnya. Wanita yang sudah memenangkan
berbagai piala ini tampil begitu memukau lewat perannya sebagai istri sang
Kiai. Meski menurutnya sempat kekurangan bahan mengenai sosok Nyai Kapu, tapi
jelas aktingnya menunjukan hal sebaliknya. Christine begitu menjiwai sosok Ibu
Nyai yang selalu setia mendampingi suaminya dalam suka maupun duka.
Mungkin
yang aktingnya masih kurang malah aktor sekaliber Agus Kuncoro yang telah
berpengalaman dalam berbagai film kolosal. Agus terlihat kurang menjiwai perannya
sebagai K.H. Wahid Hasyim. Aktingnya dalam film terlihat biasa saja. datar.
Sedangakn
Adipati Dolken, pendatang baru yang sebelumnya telah sukses lewat film perahu
kertas terlihat makin menunjukan kematangannya. Perannya sebagai Harun, santri
yang emosional dan serba berpikir praktis mampu dia perankan dengan baik. Ya, meskipun
masih terdapat logat bahasa Jawa yang
kaku tapi itu tertutupi oleh penjiwaannya yang hebat.
Tapi
yang paling berkesan jelas akting dari Dimas Shimada, pria blasteran jepang ini
tampil begitu apik sebagai komandan tentara Jepang. Sebagai aktor pendatang
baru Dimas mampu memerankan komandan Jepang yang jahat dan kejam dengan begitu
sempurna. Selain itu, logat jepangnya pun begitu fasih sehingga membuat
aktingnya makin sempurna dalam film ini.
Secara
keseluruhan, film ini merupakan tontonan
yang wajib ditonton khusunya bagi para generasi muda untuk meneladani jiwa
nasionalisme K.H. Hasyim Asy’ari. Film
ini juga dapat menjadi alternatif bagi perfilman Indonesia yang saat ini
terlalu disuguhi film-film yang kurang mendidik, seperti sinetron bertema
percintaan dan horor berbau seks.
0 komentar:
Posting Komentar