Sudah lebih dari enam dekade perjalanan pendidikan di republik ini, namun belum ada satupun kurikulum yang berakhir dengan memuaskan. Hampir setiap Menteri Pendidkan memiliki kebijakan kurikulumnya sendiri-sendiri. Tercatat dalam sejarah setidaknya kita telah mengalami delapan kali perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum ini menandakan betapa dunia pendidikan kita ini masih belum stabil. Terkesan adanya selera yang berbeda di antara pembuat kebijakan. Bahkan dikalangan masyarakat terkenal adagium “ganti menteri ganti kurikulum”.
Meski perubahan merupakan sesuatu yang pasti, namun perubahan pada kurikulum membuat pendidikan tidak pernah mengalami kemajuan bahkan terkesan malah berjalan mundur. Bandingkan saja dengan pendidikan yang dihasilkan belanda lewat politik etisnya yang mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
Kurikulum yang berubah-ubah pada dasarnya merupakan hegemoni kekuasaan. Menurut HAR Tilaar penyusunan kurikulum yang berganti-ganti menjadi bukti betapa kekuasaan menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum. Padahal yang menjadi korban dari perubahan kurikulum tak lain adalah para peserta didik itu sendiri. Mereka ibarat kelinci percobaan dari eksperimen pemerintah sebagai penguasa. Di sinilah sebenarnya letak arogansi pemerintah. Mereka selalu memaksakan kehendaknya untuk menunjukan kekuasaannya.
Kurikulum dan kepentingan penguasa sebenarnya sudah lama terjadi, meski masyarakat dan pihak sekolah tidak menyadarinya. Sejak orde baru kurikulum telah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Soeharto. Penyeragaman isi kurikulum secara nasional menjadi bukti bagaiamana penguasa waktu itu ingin menyeragamkan pola pikir rakyat Indonesia lewat indoktrinasi yang dilakukan di sekolah-sekolah.
Kurikulum 2013
Pada akhir tahun 2012 pendidikan kita dikejutkan oleh kebijakan baru pemerintah yang ingin mengganti kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013. Lahirnya kurikulum ini ibarat petir di siang bolong, tak ada angin dan hujan tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan yang terkesan mendadak tersebut.
Meskipun pemerintah beralasan perubahan kurikulum itu di dasarkan untuk memperkuat karakter siswa karena maraknya tawuran antar pelajar, hal itu tidak bisa jadi tolok ukur untuk langsung membuat kebijakan perubahan kurikulum. Apakah kurikulum sebelumnya sudah dilakukan evaluasi secara menyeluruh? Dan apa hasil dari evaluasi tersebut?
Jika setiap ada kelemahan dalam tataran implementasi dijawab dengan kebijakan sistem baru, selamanya persoalan pendidikan kita tak akan pernah tuntas seperti lingkaran setan yang selalu berputar pada masalah yang sama.
Padahal munculnya kurikulum baru ini malah membuat kita kembali dari permasalahan awal. Implementasi kurikulum 2013 jelas butuh sosialisasi dan pelatihan bagi para guru mengenai tata cara dan mekanismenya. Selanjutnya berapa persen guru yang sanggup menyerap apa yang diinginkan pemerintah, karena mereka harus menguasi hal baru yang ditawarkan kurikulum baru tersebut dari segi isi kurikulum sampai pada metode mengajarnya.
Sebenarnya, jika pemerintah menyempurnakan kekurangan kurikulum KTSP yang telah berjalan, ia tidak perlu lagi mengeluarkan ongkos yang begitu mahal untuk membuat kurikulum baru tersebut. Dana pembuatan kurikulum baru tersebut bisa dialokasikan pada peningkatan profesionalitas guru yang sampi saat ini begitu memprihatinkan etos kerjanya.
Karena bagaimanapun kurikulum itu pengaruhnya tidak sekuat guru. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan. Sebaik apapun kurikulum tanpa guru yang profesional dalam mengajar ibarat bahan-bahan masakan di tangan orang yang tidak bisa memasak. Sebaliknya di tangan koki yang ahli, bahan masakan yang sederhana bisa menghasilkan masakan yang luar biasa.
Jangan sampai perubahan kurikulum hanya di dasarkan pada ambisi terselubung demi mencari keuntungan proyek semata, mengingat begitu besar dana yang diperlukan untuk perubahan kurikulum 2013 ini.
0 komentar:
Posting Komentar