Krisis pemimpin nasional ternyata masih menghantui bangsa kita. Munculnya stok lama yang akan bertarung dalam bursa pencalonan presiden 2014, menjadi bukti bagaimana proses regenerasi pemimpin nasional mengalami kemandulan.
Menurut pengamat politik Gun Gun Heryanto,
sulitnya regenarasi pemimpin nasional karena disebabkan kegagalan partai
politik dalam melakukan kederisasi. Menurutnya tradisi kepartaian di Indonesia
masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional.
Tradisi feodal ini bisa dilihat dari
ketergantungan partai terhadap figur tertentu. Meski tradisi ini sudah tidak
relevan lagi di alam demokrasi, namun tidak sedikit dari partai politik kita
masih mempraktekannya.
Sedangkan oligarki bisa dilihat dari pola
distribusi dan alokasi kader partai ke jabatan publik yang ditentukan oleh
segelintir elite partai. Penentuan calon pejabat eksekutif atau calon pejabat
legislatif harus mendapat restu dari pimpinan pusat partai.
Sementara praktik transaksional dapat dilihat
dalam proses politik yang memiliki biaya tinggi karena ditentukan oleh siapa
yang bisa memiliki kekuatan hadiah (reward power) berlebih. Artinya, mereka
yang punya uanglah yang akan mengendalikan seluruh kebijakan partai. Tradisi
inilah yang menurut Gun Gun sudah mapan dan terpola mereduksi pola-pola
regenerasi.
Politik Figur
Sejak era reformasi banyak figur yang mendirikan
partai politik. Namun ironisnya partai yang mereka dirikan tak mampu melahirkan
figur yang mampu menggantinya.
Partai sebesar PDI Perjuangan sampai saat ini belum bisa lepas dari pengaruh megawati. Bukti dirinya maju kembali dalam bursa pencalonan presiden menjadi indikator gagalnya partai tersebut melahirkan figur yang seimbang dengan Mega.
Partai sebesar PDI Perjuangan sampai saat ini belum bisa lepas dari pengaruh megawati. Bukti dirinya maju kembali dalam bursa pencalonan presiden menjadi indikator gagalnya partai tersebut melahirkan figur yang seimbang dengan Mega.
Sementara partai Demokrat yang menjadi pemenang
pemilu kemarin tak bisa lepas dari figur SBY. Apalagi saat Anas Urbaningrum
dijadikan tersangka oleh KPK, SBY sendirilah yang turun tangan menghadapi Anas
terkait pernyataannya di media untuk membuka halaman-halaman baru yang belum
dibaca. Kader partai Demokrat yang lain seakan kewalahan menghadapi mantan
ketua umumnya itu.
Terpilihnya SBY menjadi ketua umum sementara pada
kongres partai Demokrat, menjadi bukti bagaimana sosoknya menjadi figur sentral
partai tersebut. Partai yang didirikan oleh SBY ini dinilai gagal melahirkan
figur yang sanggup menyamai sosoknya.
Partai seperti Hanura, Gerindra dan lainnya juga
tak bisa lepas dari figur masing-masing pendiri partai. Hanura yang kembali
mengusung Wiranto sebagai capres dan Gerindra yang mengusung Prabowo,
membuktikan bagaimana banyak partai yang didirikan oleh seorang figur, tak
mampu melahirkan figur yang sepadan untuk meneruskan tongkat estafet
kepemimpinannya.
Bukan tidak mungkin, jika partai-partai tersebut
ditinggal sang figur akan mengalami penurunan elektabilitas secara drastis. PKB
bisa menjadi contoh konkrit akan hal ini. Sejak ditinggalkan Gusdur, suara PKB
mengalami penurunan yang sangat tajam. Survai yang dilakukan oleh lembaga
klimatologi politik (LKP) menunjukan, peringkat PKB diperkirakan berada
diurutan kesembilan dibawah PKS dan PAN. Ini berbeda jauh saat Gusdur masih
ada, peringkat PKB selalu diurutan tiga besar di atas partai Islam lain.
Jika Parpol tersebut ingin tetap eksis di
panggung perpolitikan nasional salayaknya mereka merumuskan kembali sistem
pengkaderan partai yang selama ini terkesan mandeg. Karena bagaimanapun juga
meminjam bahasa Lili Romli, peneliti LIPI “Kaderisasi merupakan bahan bakar
untuk menghidupkan parpol. Bukan hanya untuk menjaring pendukung, tetapi juga
menjaga keberlangsungan masa depan partai”.
0 komentar:
Posting Komentar