Siang ini saya tiduran di sofa. Rehat sejenak setelah melakukan aktivitas pekerjaan rumah: nyapu, ngepel, dan menyiram tanaman.
Minggu, 07 November 2021
Life is Journey
Jumat, 05 November 2021
Menyoal Tesis Yuval di Homo Deus
Kita tahu, bahwa buku Homo Deus yang ditulis Harari ini merupakan kelanjutan dari buku dia sebelumnya: Sapiens.
Jika buku Sapiens lebih membahas soal asal usul manusia. Dalam Homo Deus Harari lebih menekankan pada bagaimana kira-kira masa depan umat manusia.
Tesis yang dikemukakan harari itu sebenarnya sederhana. Begini, umat manusia sejak zaman dahulu itu punya tiga masalah yang tak kunjung usai: soal kelaparan, wabah, dan perang.
Tiga masalah tersebut telah merenggut jutaan nyawa manusia dari tahun ke tahun. Munculnya Nabi dan juru selamat di setiap zaman tak mampu mencegah tiga masalah utama umat manusia itu.
Dan kini, tanpa ada nabi dan juru selamat, umat manusia sudah mampu mengendalikan tiga masalah utama tadi. Manusia di masa sekarang justru banyak yang meninggal karena obesitas di banding kelaparan; meninggal bunuh diri jauh lebih banyak di banding perang; dan meninggal karena faktor usia tua itu jauh lebih banyak di banding terkena wabah.
Lalu pertanyaanya, ketika tiga masalah utama di atas tadi sudah hampir terpecahkan. Lalu apa yang menjadi masalah utama umat manusia ke depan?
Nah lewat buku homo deus inilah Harari coba menjawab pertanyaan yang menjadi tesis utama di buku tersebut.
Di sini saya coba mempersoalkan tesis Harari di atas. Mungkin Harari benar, kalau manusia di zaman sekarang itu jauh lebih baik dalam menghadapi tiga persoalan di atas. Kita bisa lihat fakta di lapangan, berita kematian akibat kelaparan sangat jauh lebih menurun di banding zaman dahulu. Kematian akibat wabah pun jumlahnya sekarang jauh lebih menurun di banding zaman dahulu. Begitu juga dengan peperangan. Jumlah manusia yang meninggal akibat peperangan itu jauh lebih sedikit kalau memang kita mau bandingkan pada zaman dahulu.
Namun bagi saya, tiga persoalan itu akan tetap menjadi perosalan umat manusia ke depan. Sekarang siapa yang bisa menjamin bahwa peperangan besar tidak akan terjadi lagi? Dan seandainya peperangan besar itu terjadi tentu saja efeknya akan jauh lebih dahsyat dari peperangan zaman dahulu karena senjata umat manusia saat ini jauh lebih canggih. Ketika satu bom nuklir diledakan, berapa nyawa nyawa manusia yang bisa terenggut.
Soal kelaparan, bagi saya itu juga masih akan menjadi tantangan umat manusia ke depan. Harari mungkin lupa bahwa jumlah umat manusia dari tahun ke tahun itu terus mengalami peningkatan. Sementara lahan pertanian kondisinya semakin menyusut. Dan tentu saja itu akan menjadi persoalan serius umat manusia ke depan.
Soal wabah pun demikian. Kita sebagai manusia harus jujur mengakui bahwa wabah covid 19 yang hingga saat ini masih terjadi itu telah mengubah semua tatanan kehidupan. Banyak negara di dunia dibuat repot adanya wabah covid ini. Jumlah korban yang meninggal pun tidak sedikit. Dan pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin umat manusia akan terbebas dari wabah seperti covid ke depan.
Terkait ungkapan Harari bahwa para Nabi dan Juru selamat tidak bisa mengatasi tiga masalah utama umat manusia di atas, bagi saya itu ungkapan yang sedikit bias.
Begini, para nabi dan juru selamat sudah melakukan tindakan yang bisa menjadi fondasi untuk mengatasi tiga masalah di atas. Misalnya para nabi menyuruh orang distribusi makanan terhadap yang membutuhkan. Kalau caranya masih konvensional itu iya. Karena zaman nabi memang belum ditemukan teknologi pesawat terbang dan kapal laut dengan mesin. Yang tentu saja sangat membantu mempercepat arus keluar masuk antar wilayah.
Tapi kalau pertanyaanya, para nabi dan juru selamat itu gagal menyelesaikan tiga masalah utama manusia di atas, saya rasa itu kurang fair. Karena faktanya para nabi dan juru selamat itu sangat concern untuk menyelesaikan tiga masalah di atas. Para nabi dan juru selamat setidaknya melakukan tindakan yang memang perlu disempurnakan oleh generasi setelahnya.
Ibaratnya dalam sebuah penemuan listrik. Tidak mungkin kita berani mengklaim kalau sang penemu listrik sepanjang hidupnya itu gagal untuk menerangi dunia. Justru karena ada penemuan itu, generasi setelahnya mampu untuk membuat terang dunia dengan menyempurnakan hasil temuan sang penemu listrik.
Yuval: Manipulasi dan Infeksi
Malam ini sebelum tidur saya nonton video di youtube. Di beranda ada video yang menarik perhatian saya. Yang bicara di video itu: Yuval Noah Harari. Paling tidak ada dua hal penting yang saya tangkap dari video tersebut.
Pertama dia bilang bahwa hidup kita sangat mudah dimanipuasi oleh Pemerintah dan Perusahaan. Setiap hari dua entitas ini selalu mencoba menghijak pikiran kita. Bagaimana cara mereka menghijak? Begini, perusahaan atau Pemerintah itu akan mencari apa yang jadi keinginan, hasrat, dan kesukaan kita lewat teknologi AI. Contohnya, kita mungkin sering mengalami. Ketika lagi mencari topik tertentu di media sosial, entah bagaimana algoritma media sosial tiba tiba menyarankan tema yang mirip saat kita mencari informasi tersebut. Kita lagi buka youtube soal musik rock, besoknya di beranda kita akan bermunculan band rock yang mirip dengan yang kita cari kemarin.
Dan fenomena ini akan sangat mudah untuk dimanfaatkan pihak tertentu. Misalnya bagi pemerintah, dia bisa mengetahui suatu isu itu berapa banyak yang setuju dan menolak.
Maka dari itu saran dari Yuval, kita harus mengetahui lebih dahulu siapa sebenarnya diri kita. Karena terlambat sedikit kita gagal mengidentifikasi diri kita, hal itu akan diambil alih oleh perusahaan dan pemerintah. Mereka akan coba memanipulasi tindakan tindakan kita.
Uniknya, saat mereka memanipulasi, kebanyakan dari kita itu tidak sadar. Jadi seolah olah, tindakan yang kita lakukan itu memang benar benar berasal dari dalam diri sendiri. Padahal, kita itu ibarat robot yang keinginan dan tindakannya sudah ada yang mengatur.
Kedua, Yuval menjelaskan bahwa internet terutama sosial media itu punya daya menular yang cukup besar. Daya penularannya jauh lebih dahsyat di banding virus yang kita kenal seperti penyakit flu dan covid.
Contoh kongkritnya: kemarahan dan kebencian. Lewat media sosial, kemarahan dan kebencian itu bisa sangat cepat menular. Kalian bisa lihat sendiri, bagaimana fenomena itu terjadi saat pemilu kemarin. Bagaimana orang dengan mudahnya membenci hanya karena beda pilihan politik. Mereka tidak peduli itu teman, sahabat, atau pun kerabat. Asal tidak masuk barisannya itu artinya menjadi lawannya.
Rabu, 03 November 2021
Marlboro Kretek
Hari ini persediaan tembakau rokok saya habis. Saya langsung meluncur ke toko tembakau di dekat rumah. Saat sudah beli tembakau kesukaan, mata saya tertuju dengan bungkus rokok Marlboro yang sangat beda. Penasaran saya tanya ke penjual.
"Ini Marlboro apa mas?"
"Itu Marloboro Kretek. Enak itu mas. Enteng."
"Berapa harganya?"
"Murah. Cuma Rp 10.000."
Tidak pikir lama saya langsung beli. Mumpung harganya juga murah banget. Kelas Marlboro harganya cuma Rp 10.000. itu berarti sekelas rokok Envio Kretek.
Berikut ini penampakannya:
Bagaimana rasanya? Bagi saya, rasanya tidak jauh berbeda dengan Marlboro yang biasa. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Ini dibuat kretek. Tapi rasa tembakau Marlboronya masih begitu terasa. Dan saya sendiri, memang merasa agak kurang puas. Mungkin karena saya biasa merokok kretek. Dan rokok kretek itu identik dengan rasa cengkehnya yang sangat terasa. Di Marlboro kretek ini, saya tidak mendapatkan itu.
Saya kira, Marlboro kretek ini rasanya akan seperti rokok kretek pada umumnnya. Cuma mungkin ini jauh lebih ringan saat dihisap. Tapi ternyata rasanya sangat jauh berbeda. Memang Marlboro kretek ini enteng saat dihisap. Tapi itu tadi, sensasi kreteknya kurang nendang.
Mungkin bagi kalian yang memang suka Merokok Marlboro dan ingin hemat budget, bisa coba beralih ke Marlboro kretek ini. Karena sensasinya tidak seperti merokok kretek. Tapi lebih ke rokok Marlboro biasa.
Makna Hidup
Saya baru saja membaca artikel yang menarik soal makna hidup di situs schooloflife.com. Intinya dari tulisan itu, ada tiga hal yang harus kita lakukan agar hidup kita bisa bermakna.
Pertama: komunikasi. Komunikasi di sini berarti kita harus menjalin hubungan dengan orang lain. Dia bisa keluarga, teman, atau pasangan hidup. Prinsipnya dalam menjalin hubungan sebisa mungkin jalinlah hubungan dengan orang yang benar benar mencintaimu. Jangan sampai membangun hubungan dengan orang yang toxic. Karena itu malah merusak kebahagiaan dirimu.
Berkaitan membangun hubungan dengan orang yang mencintai dan menyayangi kita. Saya pernah melihat video di youtube yang menjelaskan soal ini. Jadi di video tersebut ada seorang peneliti dari Harvard yang coba meneliti penyebab utama seseorang itu hidup bahagia. Dan hasilnya cukup mencengkan. Bukan materi yang jadi penyebab kebahagiaan. Melainkan koneksi yang kuat dengan orang yang kita cintailah yang menjadi penyebab seseorang itu hidupnya jauh lebih bahagia di banding yang lain.
Kedua, understanding. Agar hidup kita bermakna, kita harus bisa memahami. Memahami disini bisa ke diri sendiri atau lingkungan kita. Coba perhatikan, misalnya anda tidak bisa mengendarai sepeda motor. Ketika anda pertama kali mencoba mengendarai sepeda motor, tentu banyak pertanyaan yang muncul di benak anda. Bagaimana cara menghidupkan mesin, bagaimana cara melakukan pengereman dan lain lain. Ketika anda berhasil memahaminya disitu anda mulai meraskan perasaan yang bermakna. Bahwa anda bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya anda tidak mengerti.
Ketiga, Service. Agar hidup kita bermakna, sebisa mungkin kita bisa memberikan pelayanan yang baik ke orang lain. Pelayanan ini bentuknya bisa bermacam macam. Anda memberi makanan ke orang yang membutuhkan atau menolong orang yang ingin meyebrang di jalan raya, itu adalah bentuk layanan yang bisa membuat hidupmu jauh lebih bermakna.
Selasa, 02 November 2021
Pengamat yang Bias
Baru saja baca berita di media online. Ada pengamat yang bilang begini: kereta cepat tidak akan balik modal sampai kiamat!
Bagi saya itu reaksi yang sangat berlebihan. Hiperbolis. Dan sarat rasa dongkol dan marah.
Memang tidak ada yang salah dengan perasaan semacam itu. Cuma yang jadi persoalan, jika perasaan semacam itu digunakan untuk menilai suatu persoalan. Yang muncul malah bias dan tidak obyektif.
Bukankah tugas pengamat itu harus menilai dengan terukur dan obyektif. Tidak masalah, misalnya kita sebagai pengamat kurang suka dengan pemerintah. Tapi ketika sudah bicara di depan publik, sebagai pengamat harus mengedepankan nilai obyektivitas. Jangan sampai perasaan tidak suka. Marah. Dan perasaan negatif yang justru mempengaruhi penilaian terhadap persoalan.
Kalau pengamat tidak bisa mengendalikan perasaan negatifnya, alangkah lebih baik untuk tidak bicara terlebih dahulu di depan publik. Karena publik harus diselamatkan dari informasi yang tidak sehat. Bias. Dan penuh rasa benci. Karena untuk menciptakan masyarakat yang mentalnya sehat, mereka pertama kali harus mendapat informasi yang juga sehat.