Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 26 Desember 2016

Wijaya Karya & Pinjaman Asing, Siapa Diuntungkan?


Komitmen Pemerintah untuk mempercepat berbagai proyek infrastruktur dengan kondisi fiskal yang serba terbatas, mau tak mau membuat Pemerintah mencari opsi pendanaan dengan pihak luar. Namun pertanyaanya apakah pinjaman dari luar itu menguntungkan pihak Indonesia?

Pada kesempatan kali ini, saya ingin coba mengulas salah satu BUMN konstruksi yaitu Wijaya Karya Tbk (WIKA) yang tercatat memiliki beberapa kerjasama dengan perusahaan asing dalam pembangunan beberapa proyeknya.  Mungkin di lain kesempatan (tentu saja jika ada waktu) saya juga ingin membahas BUMN yang lain yang tercatat memiliki beberapa kerjasama dengan pihak asing. 

Ada banyak proyek yang telah dikerjakan antara WIKA dengan beberapa perusahaan asing, salah satunya WIKA bersama Metallurgical Corporation of China Ltd (MCC), Nindya Karya, dan Waskita Karya menggarap proyek Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) tahap II di provinsi Jawa Barat.

Ikut terlibatnya MCC di proyek tersebut, tak terlepas dari adanya pinjaman dari China dalam pembangunan proyeknya. Lima bulan lalu, seperti dikutip Bisnis.com, Pemerintah menandatangani perjanjian pinjaman senilai Rp 4,5 triliun dengan Bank Exim China untuk pendanaan dua ruas tol yaitu Manado—Bitung (39 KM) dan Cisumdawu (60,5 KM).

Dalam proyek yang lain seperti proyek waduk Karian di Rangkas Bitung, Banten juga terjadi hal yang sama. Pemerintah mendapat pinjaman dari Korea Selatan sebesar US$ 100 juta. Kemudian kontraktor yang menggarap adalah Daelim Group, perusahaan asal Korsel dengan  WIKA. 

Hal yang sama juga terjadi pada proyek tol solo-Kertosono (Soker) di mana Pemerintah mendapat pinjaman dari China sebesar Rp 2,83 triliun. Imbalannya, Pemerintah menunjuk China Road and Bridge Corporation (CRBC) sebagai kontraktor dalam pembangunan proyek tersebut bekerjasama dengan BUMN seperti WIKA, WSKT, dan PTPP. 

Untuk lebih jelasnya anda bisa lihat pada tabel di bawah ini:


Name of Projet
Joint Venture
Portion of Shares (%)
Road and Bridge Infrastructure Development 
WIKA-BUCG-PTPP
20%-60%-20%
Construction Bridge of Tayan
PT WIKA-CRBC
40% : 60%
Project Tol Soker Phase II
PT WIKA-CRBC-PTPP
25%-60%-15%
Project Karian Multipurpose DAM
PT WIKA - WASKITA - PT DAELIM
27%-22%-51%
Project Cisumdawu Phase II
PT WIKA-MCC-WASKITA-NINDYA
20%-65%-7,5% -7,5%
Priok NS Direct Highway
PT WIJAYA KARYA-PT TOBISHIMA
41% : 59%


Menariknya, jika melihat tabel di atas, perusahaan asing yang menggarap proyek dengan BUMN Indonesia tersebut mendapat porsi saham paling banyak dengan menjadi pemilik mayoritas. Pertanyaannya apakah posisi tersebut menguntungkan? 

Sebab dengan menjadi mayoritas, ruang gerak perusahaan asing tersebut akan sangat sangat luas. Misalnya dalam hal pengambil keputusan, perusahaan asing tersebut bisa jadi memegang kendali dalam menentukan bahan material apa yang nanti akan digunakan dalam pengerjaan proyeknya.

Contohnya proyek Road and Bridge Infrastructure Development  di Balikpapan, Kalimatan Timur yang dikerjakan WIKA-Beijing Urban Construction Group-PTPP yang proyeknya saat ini masih berjalan. Bukankah ada kemungkinan bahan material yang akan digunakan misalnya bahan semennya itu akan mengambil dari Perusahaan semen China, Anhui Conch Cement Co.  yang memilik pabrik di Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan. Seperti diketahui pabrik semen Anhui di Kalimantan Selatan tersebut telah berproduksi sejak dua tahun lalu dengan kapasitas 1,5 juta ton. 

Kereta Cepat

Selain beberapa proyek di atas, WIKA juga tercatat sebagai BUMN dengan kepemilikan saham terbesar di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sebuah konsorsium beberapa BUMN yang ditugaskan Pemerintah untuk menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (142,3 KM). Porsi saham WIKA di PSBI sebesar 38% sementara BUMN yang lain yaitu PT Kereta Api Indonesia, porsi sahamnya sebesar 25%, PT Perkebunan Nusantara VIII 25%, dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR) 12%.

Seperti kita tahu pada tanggal 16 Oktober 2016, PT PSBI dengan China Railway International Co. Ltd telah menandatangani Join Venture Agreement untuk membentuk perusahaan yang akan membangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang bernama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). PSBI menjadi pemegang saham mayoritas di KCIC dengan memegang 60% saham. Sedangkan sisanya dipegang pihak China.

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia yang diterbitkan WIKA, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini memerlukan dana yang begitu besar yaitu US$ 5,13 miliar atau Rp 70,8 triliun. Dana tersebut nantinya akan berasal dari 25% modal KCIC sendiri dan sisanya merupakan pinjaman dari perbankan. 

Baru-baru ini, pihak KCIC dikabarkan telah mendapatkan komitmen pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai Rp 53 triliun. Namun hingga kini, pinjaman tersebut tak kunjung cair. Entah apa masalahnya?

Namun terlepas dari lamanya pencairan dana tersebut, yang menarik tentu saja, terkait keberhasilan pihak PSBI yang mampu menjadi pengendali di KCIC. Meski kita tahu mayoritas pendanaan sebagaian besar bersumber dari pihak China.

Kita tunggu saja, apakah dengan menjadi pengendali di KCIC, proyek besar ini akan lebih menguntungkan Indonesia. Sebab dalam dokumen WIKA, terkait aspek kajian atas aspek tenaga kerja, dalam tahap konstruksi, proyek besar ini akan langsung memberikan sekitar 39 ribu lapangan pekerjaan bagi pekerja Indonesia. Komposisi pekerja dalam proyek tersebut, juga disebutkan 41,4% pekerja China dan 58,6% pekerja Indonesia. Artinya pihak Indonesia masih tetap menjadi mayoritas kan?

0 komentar:

Posting Komentar